Minggu, 16 Maret 2008

untuk juru dakwah

Aktif da’wah, tapi kuliah berantakan

Semangat berda’wah, tapi ingin lulus cepat

Akhirnya da’wah ditinggalkan

Dan barisannya pun berguguran

Ikhwah fillah, masalah ini sudah cukup familiar bukan ditelinga kita? Ketika da’wah membutuhkan pemuda-pemudi yang bersemangat membela Al Haq, menyebarkan ilmu syar’i di tengah-tengah ummat, mereka pun berpaling karena takut dengan IPK rendah, takut tidak bisa lulus cepat, ingin cum laude, atau semacamnya. Maka ikhwah fillah ingatlah firman ALLOH yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu..” (QS. Muhammad: 7)

Inilah janji ALLOH. Dan siapakah yang lebih menepati janji daripada ALLOH?

Perhatikanlah, yang mendapat pertolongan ALLOH adalah orang yang menolong agama ALLOH. Dan yang dimaksud menolong agama ALLOH sungguh dapat dengan jelas dipahami maksudnya yaitu menegakkan dan menyebarkan agama ALLOH yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah, di muka bumi ini.

Nah, timbul pertanyaan dari sebagian ikhwan. “Kami sudah berda’wah, kami banyak membantu kegiatan da’wah, tapi kenapa IPK kami jelek, kelulusan kami malah tertunda, dimana pertolongan ALLOH?”. Ya akhi, renungkanlah, ketika kita merasa pertolongan ALLOH tidak sampai kepada kita maka hanya ada 2 kemungkinan:

1. Kita belum benar-benar menolong agama ALLOH

Renungkanlah apa yang kita lakukan! Apakah kesibukkan kita pada kegiatan da’wah telah berada pada jalan yang benar? Periksalah kembali apa yang kita da’wahkan selama ini. Apakah kita benar-benar menda’wahkan Al Haq, menda’wahkan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman para sahabat dan orang yang mengikuti mereka? Ataukah selama ini kita malah menda’wahkan hal-hal yang diada-adakan dalam agama, kita malah menda’wahkan kesyirikan, kita menda’wahkan hizbiyyah, ashobiyyah, fanatik buta, dan penyimpangan-penyimpangan lain? Jika ya, maka tak perlu tanya mengapa pertolongan ALLOH tidak kunjung datang.

Renungkanlah apa yang kita lakukan! Apakah setiap aktifitas da’wah kita semata-mata hanya mengharap ridho ALLOH Ta’ala? Ataukah karena ingin dikenal orang, ingin populer, ingin bertemu akhowat cantik, ingin dikenal baik oleh dosen, dan semua niatan duniawi lainnya? Jika ya, maka tak perlu tanya mengapa pertolongan ALLOH tidak kunjung datang.
2. Pertolongan ALLOH telah datang tanpa kita sadari

Ikhwah fillah, jika kita telah merasa telah benar-benar berusaha menolong agama ALLOH, maka yakinlah akan pertolongan ALLOH.

Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (QS Ali Imran : 9)

Maka ketahuilah ada 4 keadaan seorang hamba, pertama, ia mendapat kebaikan dunia dan akhirat. Kedua, ia mendapat kebaikan akhirat tapi tidak di dunia. Ketiga, ia mendapat kebaikan di dunia, tapi di akhirat nasibnya sengsara. Keempat, yang terburuk, ia mendapat keburukan dunia dan akhirat, wal’iyadzubillah. Ketahuilah, keadaan pertama dan kedua, itulah pertolongan ALLOH. Kadang ALLOH berkehendak menolong seorang hamba yang telah menolong agama-Nya sehingga ia mendapat kebaikan di akhirat dan kebaikan di dunia, dengan IPK tinggi, lulus cepat, cepat bekerja, hidup berkecukupan dan ni’mat dunia lainnya. Namun kadang, ALLOH berkehendak menolong seorang hamba dengan memberinya akhir yang baik di akhirat kelak, namun tidak disegerakan kepadanya ni’mat dunia. Kita tentunya ingin mendapat salah satu dari kedua keadaan ini bukan?

Maka ikhwah fiddien, kala kita merasa keni’matan dunia belum menyapa kita, padahal kita sudah bersungguh-sungguh mengikhlaskan diri menda’wahkan agama ini, jangan kecewa dulu, jangan berburuk sangka pada ALLOH. Mungkin ALLOH telah memberikan pertolongan pada kita dengan menjamin kebaikan di akhirat kelak.

Ikhwah fillah, ana nasehatkan kepada diri ana dan ikhwah semua, sebelum berharap pada pertolongan ALLOH, yang lebih penting adalah sebaiknya kita renungkan dahulu dalam-dalam apakah kita sudah menolong agama ALLOH dengan sebenar-benarnya?

Makna Lailahaillalah

Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna Laa Ilaaha Illallah, dan menafsirkan dengan “Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah” !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?’ Tentu mereka akan menjawab : ‘Allah’. ” [Luqman : 25].

Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :

“Artinya :Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) : ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’“. [Az-Zumar : 3].

Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : “Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah”. Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir. Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da’i Islam untuk menda’wahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta’ala“. [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]

Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makan kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : ‘Laa Ilaaha Illallah’ tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo’a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi’ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya. berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da’i kaum muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu :

“Artinya : Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya“. [Az-Zumar : 3]

Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.

Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di akhirat !.

Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka” dalam riwayat lain : “Maka dia akan masuk Surga“. [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa’id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].

Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.

Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :

Dia mengucapkan dan memahami maknanya.

Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.

“Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ….” [Al-Baqarah : 146 & Al-An’am : 20]

Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma’rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa’ ala berfirman dalam Al-Qur’an :

“Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu …….” [Muhammad : 19].

Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :

“Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya“. [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa’id Al-A’rabi dalam Mu’jamnya, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu]

Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita.

Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji’ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu :

Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya“. [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa’id Al-A’rabi dalam Mu’jamnya, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu]

Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah naungan hukum Islam.

Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da’wah tauhid kepada semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan.

Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.

Hadist Ikhlas

KATEGORI: Hadist
Hadist1
Dari Amirul mukminin, Umar bin khathab “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.
(Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits.)

Keutamaan hadist
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad. Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari rahimahullah. Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata : “Bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”. Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi? Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.

Hadist Ahad
Maka ada hal penting yang harus diperhatikan, karena ada sebagian kaum muslimin memiliki pemahaman menyimpang dengan menolak memakai hadist ahad. Sebagian dari mereka menolak hadist ahad secara keseluruhan, sebagian lagi menolak hadist ahad dalam perkara aqidah. Maka sungguh telah menyimpang pemahaman yang demikian dilihat dari beberapa sisi:

  1. Telah kita ketahui bahwa hadist ini telah disepakati keshahihannya, dan tidaklah suatu hadist dikatakan shahih kecuali semua perawinya tsiqah, terpercaya, bebas dari illah (cacat), bagus dhabt-nya, bukan pendusta, bukan pemalsu hadist. Maka bila ada orang yang menolak hadist ahad, secara tidak langsung ia merendahkan para perawi hadist tersebut.
  2. Telah kita ketahui bahwa para ulama seringkali mengutip hadist ini, bahkan hadist ini di riwayatkan oleh 2 ulama muhadditsin yang masyhur kealimannya, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim. Lebih lagi Imam Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan hadist ini, begitu juga Imam Nawawi dalam kitab Arbain-nya. Maka orang yang menolak hadist ahad berarti telah menuduh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nawawi dan para a’immah yang lain telah sesat karena mengutip hadist ini.
  3. Ketahuilah jumlah hadist mutawatir sangat sedikit sekali bila dibandingkan dengan jumlah hadist ahad dengan perbandingan sekitar 1:9 (Wallahu’alam). Maka jika hadist ahad ditolak, sungguh banyak sekali syariat dalam agama ini yang gugur karenanya.
  4. Terdapat hadist dimana Rasulullah menanyakan kepada Muadz bin Jabal: “Tahukah engkau apa hak Allah?”. Dan selanjutnya Rasulullah mengajarkan permasalahan aqidah kepada Muadz seorang diri. Dan Muadz menceritakan hadist ini dimasa-masa akhir hidupnya. Hadist ini hadist ahad karena hanya disampaikan kepada Muadz seorang diri. Maka perhatikanlah siapa yang berani berkata bahwa Rasulullah telah berbuat ceroboh atau berbuat salah dengan mengajarkan aqidah kepada seorang saja?
  5. Sikap memilih-milih hadist ahad atau bukan kemudian menolaknya bila ia membahas perkara akidah, ini adalah sebuah kaidah dan sebuah akidah yang baru. Tidak ada salafus shalih atau ulama ahlus sunnah yang penerapkan pembagian seperti ini. Karena tidak ada dalil yang mendasari kaidah yang baru ini. Maka sungguh ini adalah termasuk perkara bid’ah.

Maka pemahaman yang benar, yang disepakati oleh seluruh ulama ahlus sunnah adalah bahwa hadist ahad bisa diterima dan diamalkan, baik itu tentang masalah aqidah ataupun bukan, selama ia memenuhi syarat-syarat hadist shahih atau minimal hasan.

Tidak cukup hanya niat
Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “Semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat. Maka ketahuilah ikhwah, bahwa syarat utama diterimanya ibadah ada 2: Niat yang ikhlas dan pelaksanaannya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi SAW.
Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak berasal dari kami (Rasulullah dan para sahabat) maka tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka perhatikanlah, karena banyak orang salah faham dalam memahami hadist ini, yaitu bahwa bahwa hadist ini memiliki ruang lingkup bahasan. Yang dibahas dalam hadist ini adalah orang-orang yang sudah melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan syariat, tinggal dibahas bagaimana niatnya, apakah sudah ikhlas atau belum? Jadi tidak termasuk bahasan hadist ini orang-orang yang pelaksanaannya belum sesuai syari’at. Maka tidak benar bila ada orang yang berbuat bid’ah yang ia anggap baik kemudian ia berdalil dengan hadist ini dan berkata “Yang penting khan niatnya”. Bila agama ini hanya dijalankan hanya dengan niat, maka yakinlah agama ini akan hancur. Karena orang-orang akan bebas melakukan apa saja sekehendak nafsunya yang ia anggap baik, tanpa mempedulikan syariat. Maka beragama yang benar, tidak cukup dengan niat!

Niat itu amalan hati
Para ulama sepakat bahwa niat itu amalan hati, tidak perlu dilafadzkan. Dan semua ulama sepakat melafadzkan niat adalah perbuatan baru yang harus dihindari dalam agama ini. Termasuk Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah. Karena sebagian orang yang berpendapat bolehnya melafadzkan niat berdalih dengan perkataan Imam Syafi’i tentang shalat: “Shalat itu tidak seperti ibadah yang lain, tidak dimulai shalat kecuali dengan dzikir”. Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah telah menjelaskan dalam Zaadul Ma’ad bahwa mereka ini telah salah dalam memahami perkataan Imam Syafi’i tersebut. Bukanlah yang dimaksud ‘dzikir’ itu adalah lafadz niat, melainkan takbiratul ihram. Hal ini juga dikuatkan dengan beberapa hal:

  • Imam Syafi’i adalah imamul mahzab yang paling wara’(hati-hati). Maka mustahil beliau memerintahkan hal yang tidak pernah diperintahkan Rasulullah. Karena sama sekali tidak ada hadist yang memeirntahkan melafadzkan niat.
  • Lafadz niat yang beredar dimasyarakat sekarang ini, misalnya “Usholli….” “Nawaitu…” tidak ada asalnya, tidak diketahui dari siapa lafadz2 tersebut. Bukan dari Rasulullah, dan juga bukan dari Imam Syafi’i. Maka mustahil Imam Syafi’i memerintahkan melafadzkan niat namun beliau tidak mencontohkan lafadznya
  • Andaikan niat harus dilafadzkan, tentu akan menyulitkan orang untuk beribadah. Karena ibadah yang diajarkan dalam syariat ini sangat banyak jenisnya, maka akan banyak sekali lafadz-lafadz niat yang harus dihafalkan. Padahal mereka mengatakan tidak sah bila tidak dilafadzkan. Apakah orang akan meninggalkan ibadah hanya karena tidak hafal niatnya?
  • Orang-orang yang melafadzkan niat seharusnya konsisten melafadzkan niat pada setiap ibadah. Namun nyatanya mereka tidak konsisten, pada suatu ibadah mereka melafadzkan niat, pada ibadah yang lain tidak. Misalnya, saat sholat dilafadzkan, namun saat hendak membaca Qur’an tidak dilafadzkan.

Maka jelaslah bahwa niat itu amalan hati, tidak perlu dilafadzkan, cukup dicamkan dalam hati, ditetapkan, diazzamkan.

Pentingnya ikhlas
Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Padahal hijrah pada masa itu adalah ibadah yang sangat besar pahalanya. Maka hadist ini menunjukkan orang yang tidak ikhlas dalam ibadahnya, dalam perbuatan baiknya, dalam amal-amalnya maka ia tidak akan mendapatkan pahala darinya. Maka hendaknya setiap orang memperhatikan kembali hatinya, dan mempertanyakan kembali keikhlasannya dalam beribadah.

Ikhlas secara bahasa artinya murni. Namun secara syariat ikhlas berarti mentauhidkan Allah dalam ketaatan. Artinya seorang yang beramal hanya menyerahkan wajahnya kepada Allah semata. Maka seorang yang ikhlas tidaklah mencari pujian atau tidak merasa ingin diliat oleh manusia, karena ia meyakin bahwa ia sedang menyerahkan amalnya kepada Allah seolah-olah Allah berada dihadapannya, sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda tentang ihsan:
Hendaknya engkau beridabah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu” (HR. Muslim)
Lawan dari ikhlas adalah riya, yaitu melakukan suatu perbuatan bukan karena Allah. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam telah mewasiatkan kita dari penyakit ini:
“Sesungguhnya yang kau khawatirkan atas diri kalian adalah syirik kecil, yaitu riya” (HR. Ahmad, Shahih)
Hadist di atas beliau sampaikan kepada para sahabat rahimahumullahu ajma’in. Bila para sahabat saja yang sebaik-baik ummat masih dikhawatirkan terjerumus riya, bagaimana dengan kita yang dhoif ini? Maka tentu sungguh mengherankan bila ada orang yang jarang memeriksa hatinya, memeriksa keikhlasannya, dan tidak khawatir terjerumus kepada riya. Bahkan sebagian kita justru menceritakan dan membiarkan kebaikan-kebaikan yang diamalkannya diketahui orang banyak.

Seorang tabi’in, Salamah bin Dinar mengatakan: “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu”. Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani berkata bahwa penerapan dari hal ini sunguh sangatlah sulit. Sufyan Ats Tsauri juga menyatakan: “Tidak ada hal yang lebih sulit bagi diriku melainkan adalah memperbaiki niat”. Karena sungguh niat itu udah berubah-ubah.

Maka ikhwan fillah, mari kembali kita perhatikan niat kita dalam setiap amalan-amalan kita. Sungguh banyak dari kita sering membuang-buang waktu untuk hal-hal tidak berguna, bersantai-santai, bermain-main, senda-gurau, dan hanya sedikit sekali amal kebaikan yang kita lakukan. Dari yang sedikit itu pun, sangat sedikit sekali amalan yang benar-benar ikhlas ditujukan hanya untuk Allah Ta’ala. Bahkan bisa jadi amalan kita selama ini dari kecil hingga sekarang tidak ada yang ikhlas sama sekali. Maka apakah kita merasa aman dari azab Allah?

Wallahu’alam.

Maraji’:
Syarah Arbain Nawawi, Ibnu Daqieq Al’Ied
Zaadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
Rekaman syarah hadist arbain no.1, Ust. Firanda Andirja

IKLAS mUDAH DIUCAPAKN SUSAH DIJALANKAN

Ikhlas, satu kata yang gampang diucap tapi susah dipraktekkan. Padahal ini menjadi salah satu syarat penting diterimanya satu amalan. Karena amal yang yang diterima oleh Gusti Allah itu, selain harus ada contohnya dalam agama, harus dilandasi rasa ikhlas ini. Lha ini yang susah.

Amalan yang ikhlas adalah amalan yang ditujukan hanya untuk mencari ridho dan rahmat Allah. Tidak ada tujuan lain kecuali itu saja. Jadi amalan ikhlas itu sebenarnya bertendensi juga, yakni mencari ridho dan rahmat Allah. Ada orang yang berpendapat, bahwa jika kita beramal agar kita masup surga maka amalan kita itu gak ikhlas. Soalnya masih ada embel-embel selain Allah, dan masih ada keniatan buat makhluk, yakni surga. Hmmm, apa betul begitu ya?

Ada juga yang mengatakan, bahwa jika kita beramal soleh dan menjauhi maksiat karena takut masup neraka, maka itupun gak ikhlas. Karena ada ketakutan kepada selain Allah, ketakutan pada makhluk, yakni neraka. Weh… rodo abot ki. Hare gene kok postingane abot... :-?

Seyogyanya sebelum mengatakan ikhlas dan gak ikhlas kita merujuk kepada apa Firman Allah mengenai hal ini. Pertama di satu hadits Qudsi yang shahih, riwayat Imam Muslim. Di hadits Qudsi itu Allah berfirman kepada surga : “Adapun engkau wahai Surga, merupakan tempat Rahmat-Ku. Aku merahmati denganmu pada siapa saja yang Aku Kehendaki…” (Riyadhus Shalihin, Bab Keutamaan Kaum Rendah dan Orang Fakir dari Kaum Muslimin).

Di hadits itu Allah menyatakan bahwa surga adalah bentuk dari Rahmat-Nya. Bahkan di hadits lain Nabi saw menegaskan, bahwa seseorang itu masuk surga itu dikarenakan Rahmat Allah. Maka meskipun surga itu makhluk, itu merupakan bentuk Rahmat-Nya. Sehingga apabila seseorang beramal dengan berharap masuk surga dengan amalnya itu, sebenarnya tidak mengurangi kadar ikhlasnya. Karena amalan yang ikhlas itu sendiri adalah amalan yang ditujukan untuk mencari dan berharap Ridho dan rahmat Allah.

Coba perhatikan ayat ini : “Berlombalah (bersegeralah) kepada ampunan dari Tuhan kalian dan (bersegeralah) kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi…” (S. Al Hadid ayat 21). Ha wong kita ini disuruh berlomba dan bersegera menggapai surga. Dan ini perintah Allah. Tentunya menggapainya dengan amal, bukan dengan ngowoh, ngeces, ngorok sehari penuh. Maka beramal dengan berharap masup surga itu tetap masih dalam koridor ikhlas, yakni menggapai ridho Allah dan Rahmat-Nya yang diwujudkan dengan Surga.

Adapun takut kepada neraka itu tertuang didalam surat Al Baqoroh ayat 24 : “Maka jika kalian tak memperbuatnya, dan kalian tidak akan bisa memperbuatnya (yakni membuat ayat/surat tandingan Al Qur’an) maka takutlah kalian kepada Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, disediakan bagi orang yang kafir.”

Takut neraka adalah perintah Allah pada ayat itu. Maka takut kepada neraka tidaklah mengurangi kadar ikhlas satu amalan. Karena takut kepada neraka adalah satu perintah. Ha wong gak usah diperintah takut saja, kalo sudah meruhi sendiri, nanti lak pating jondhil. Girap-girap gak karuan…

Yang susah itu adalah menjaga agar amalan kita tak bertujuan kepada makhluk. Riya’ (pamer), sum’ah (suka kemasyhuran), umuk, ujub (mengherani diri sendiri) hasad, dlsb… merupakan penyakit hati yang bisa merusak amal. Kadang-kadang setelah kita beramal, kita merusaknya secara gak sadar dengan ucapan-ucapan kita. Contohnya begini:

  1. Seorang ibu-ibu tanya pada seorang ustadz di satu pengajian yang dihadiri ratusan peserta : “Tadz mau nanya, tadi malam pas saya sholat tahajud, ha kok ada kecoa liwat. Saya digremeti sampai kegelian. Tapi saya tetap coba tenang. Namun tetep agak terganggu… saya khawatir sholat saya gak diterima Allah, Gimana ini ustadz? “ Pertanyaan biasa, tapi berpotensi menjadi ajang umuk tentang sholat tahajudnya, tentang ketegarannya ngadepi gremetan kecoa dan tentang kelembutan hatinya yang kawatir amalnya gak diterima. Kita gak bisa langsung menghukumi, tapi simbah bilang ini berpotensi umuk dan pamer amal.
  2. Pas sedang adem-ademnya liburan bareng di puncak, satu rombongan orang sedang membicarakan dahsyatnya hawa dingin disitu. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Wah ini semua gak seberapa. Waktu saya wudhu di dekat Ka’bah pas haji kemaren, gigi saya hampir kemrutuk saking dinginnya. Tapi saya tahan. Nah jamaah yang lain itu pada ndrodog kedinginan…” Ungkapan ini biasa juga, namun berpotensi umuk, nunjukin bahwa dia sudah munggah kaji dan kuat ngadepi dingin.
  3. Seorang mubaligh sedang menerangkan pada peserta pengajian, tentang bab tawadhu, dia bercerita, “Saat saya dipanggil bapak presiden ke istana kemarin, saya gak nyangka, saya yang dhoif ini diundang oleh beliau. Bahkan pada kesempatan itu saya diberi waktu untuk memberi tausiyah…” Sebenarnya ingin bercerita tentang tawadhu’, namun dia mencontohkan dirinya. Ini justru berpotensi umuk dan ujub. Kalo salah niat, bisa dipakai buat naikkan tarip amplopnya. Ha wong pernah ngisi pengajian di istana presiden je… mosok taripnya biasa, kudu punjul..

Lha, riya’ itu memang musuhnya ikhlas. Padahal riya’ itu syirik kecil. Makanya kita gak pernah tahu, amalan mana dari yang sudah kita amalkan itu yang diterima dan diganjar oleh Allah. Sudah berapa banyak ganjaran dan pahala kita dengan amalan kita… semua gak tahu.

QUANTUM IKHLAS

IKLAS ; TEKNOLOGI AKTIVASI KEKUATAN HATI

Teknologi Quantum Ikhlas tidak semata membantu anda memiliki harta yang anda inginkan. Ia juga tidak sekedar memudahkan anda mengerjakan hal-hal yang anda inginkan. Teknologi Quantum Ikhlas akan membantu anda menjadi orang yang berhak memiliki dan mengerjakan apa yang anda inginkan, dengan lebih mudah. Erbe SentanuSetiap manusia mandiri selalu berusaha memperbaiki dan melakukan perubahan dalam hidupnya. Dan perubahan meski banyak didambakan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Sementara, tidak akan ada perubahan mendasar dan permanen akan terjadi tanpa dimulai dari dalam diri sendiri.
Banyak yang dilakukan manusia untuk memperbaiki kehidupannya. Dan seperti banyak orang kita pun senantiasa bekerja keras berusaha berubah agar bisa menikmati hidup yang lebih menyenangkan.
Ironisnya jarang sekali kita bertanya: Apakah usaha dan tenaga yang kita keluarkan untuk itu - melalui kerja-keras, melalui buku-buku positif, kaset-kaset motivasi, berbagai training pengembangan pribadi dan aneka usaha untuk berubah menjadi orang yang lebih baik - sudah sepadan dengan hasilnya? Singkatnya, apakah hidup kita sudah seperti yang kita kehendaki atau setidaknya mendekati harapan kita?
Banyak orang menemukan prestasi yang "rasanya" masih jauh dari harapannya, meski di dalam hati mereka merasa mampu dan merasa berhak mendapat hasil yang lebih baik. Sebagian lagi hidupnya seperti berputar dalam lingkaran atau berjalan ditempat tak tentu arah. Seolah betapapun kerasnya usaha yang kita keluarkan dan betapapun positifnya kita berpikir, kualitas hidup yang lebih baik tetap jauh dari kenyataan. Dan, hidup menjadi sebuah peruntungan yang sulit ditebak.

Kami sangat memahami perasaan itu karena dulu kamipun merasakan hidup yang demikian. Sampai akhirnya kami menemukan kunci rahasia sukses dan kebahagiaan lahir-bathin yang kami sebut :
Siapapun memanfaatkan
The Power of Quantum Ikhlas® akan merasakan hidupnya meningkat lebih baik, dan seringkali diluar jangkauan imajinasinya. Karena melalui kompetensi teknologi hati yang dikuasainya ia mulai mengatahui, memahami dan dengan sadar membiarkan dirinya dituntun oleh Kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Teknologi Quantum

Aplikasi science ilmu-pengetahuan di tingkat kuantum - untuk memudahkan hidup manusia.

Ikhlas

Menyerahkan diri kepada Tuhan. Menjalani hidup hanya untuk-Nya, dengan mengandalkan bimbingan dan bantuan-Nya disemua bidang kehidupan.
Teknologi Quantum Ikhlas®

Aplikasi science iptek yang secara kuantitatif dan kualitatif mengukur, melatih dan meningkatkan tingkat kompetensi keikhlasan di dasar hati manusia .

Quantum Ikhlas menerangkan cara (how-to) berupa "teknologi prosedur mental" yang bisa diaplikasikan dengan mudah dan pasti - bukan penjelasan konseptual teoritis belaka.
Karena bersifat teknologi, maka melalui ikhlas manusia memang otomatis menjadi lebih tenang, damai, bahagia dan sukses dalam hidup.
Bayangkanlah bagaimana rasanya jika anda bisa memperbaiki
benchmark keikhlasan anda dengan pasti. Ketika anda berhasil ikhlas dengan "prosedur" yang benar berbagai tujuan mulia anda jadi lebih mudah diraih. Dan anda juga tahu, jika tujuan itu belum tercapai anda hanya tinggal menyempurnakan lagi prosedur keikhlasan di dalam pikiran dan hati anda.


Ikhlas Lewat Teknologi


Kami memahami pikiran dan perasaan yang menguasai setiap orang yang "ingin sukses" atau yang selalu "nyaris berhasil"... karena begitu pula kami dulu. Beruntung beberapa orang berhati mulia mau cukup bersabar terus menuntun sehingga saat ini hidup kami jauh lebih baik.

Kami berniat membalas kebaikan mereka dan melalui Katahati Institute kami berusaha menjangkau lebih banyak orang yang menginginkan perubahan dalam hidupnya.


Ikhlas Lewat Teknologi

Patut diingat sukses bukanlah karir dan finansial semata - tetapi juga termasuk keluarga yang harmonis, persahabatan, kesehatan, tingkat intelejensi, rasional, emosional maupun kecerdasan spiritual.

Karenanya anda kami ajak untuk membayangkan, bagaimana jika seandainya.. ternyata.. ada cara yang lebih mudah, lebih pantas, lebih wajar dan lebih alami untuk meraih kebahagiaan, nikmat-kerja, kedamaian, dan sukses kehidupan... Lahir-bathin...

Dan yang lebih menyenangkan lagi.. Bagaimana jika ternyata.. hal itu kita bisa melakukannya bersama-sama dengan penuh kepastian dalam kedamaian..

Bersabarlah sedikit lagi.. karena kami akan tunjukkan pada anda rahasia sukses dan kebahagiaan yang telah merubah hidup banyak orang, dan yang - jika anda ijinkan - bisa merubah hidup anda juga.


al-Ikhlâs - The Purity


In the name of God, Most Gracious, Most Merciful

Say: He is Allah, the One and Only!
Allah, the Eternal, Absolute;
He begetteth not nor is He begotten.
And there is none like unto Him.



Al-Ikhlâs is sûrah (chapter) 112 of the Qur'ân, and is said to be one of the earliest revelations that the Prophet Muhammad received from archangel Gabriel.

The Arabic root of the word ikhlâs is kh-l-s which means to be purified or refined. The very concept of refining and purifying signifies the burning away of all impurities, leaving nothing but the very essence of that which was sought, which, in this case, is Allah.

Such a purification is the burning away of all of the worldly misunderstandings, concerns and desires that separate us from the One; the One and Only upon whom we depend, the One and Only who is our foundation rock, the Eternal One and Only.

As a further testimony to the unity of the One who has created all of mankind, note the striking similarity in the Bhagavad-Gita written in India a thousand years earlier:

You are the One Creator of all the worlds,
and of that which moves and that which does not move,
You alone are fit for worship, You are the highest Teacher,
In all the worlds there is none equal to You
.


A deeper look into al-Ikhlâs:

The following is al-Ikhlâs, line-by-line in Arabic, followed by a simple transliteration, and four well-known English translations.

(Pronunciation guide: i as in sit, a as in bat, u as in put, â as the a in father, î as the ee in reel, û as the oo in moot.)

bismillâh ir-rahmân ir-rahîm

Yusuf Ali: In the name of Allah, Most Gracious, Most Merciful.
Pickthall: In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful.
Shakir: In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful.
Muhammed Ali: In the name of Allah, the Beneficent, the Merciful.

Qul huwa Allâhu ahad

Yusuf Ali: Say: He is Allah, the One and Only;
Pickthal:
Say: He is Allah, the One!
Shakir:
Say: He, Allah, is One.
Muhammed Ali: Say: He, Allah, is One.

Allâh s-samad

Yusuf Ali: Allah, the Eternal, Absolute;
Pickthal:
Allah, the eternally Besought of all!
Shakir:
Allah is He on Whom all depend.
Muhammed Ali: Allah is He on whom all depend.

Lam yalid wa lam yûlad

Yusuf Ali: He begetteth not, nor is He begotten;
Pickthal:
He begetteth not nor was begotten.
Shakir:
He begets not, nor is He begotten.
Muhammed Ali: He begets not, nor is He begotten;

wa lam yakul-la-hĂ» kufu-wan ahad

Yusuf Ali: And there is none like unto Him.
Pickthal:
And there is none comparable unto Him.
Shakir:
And none is like Him.
Muhammed Ali: And none is like Him.

Going even deeper into al-Ikhlâs:


No simple literal translation can capture the magnificence or the delicate nuances of these Arabic verses. Every word has multiple levels of meaning, and each line brings new insights and inspirations with every reading. To begin to discover the deeper meanings of these verses, let's look at the deeper meanings of the words, line by line:

(Pronunciation guide: i as in sit, a as in bat, u as in put, â as the a in father, î as the ee in reel, û as the oo in moot. )

Qul huwa Allâhu ahad

qul = say, teach, tell
root q-w-l ... to speak, say, inspire, point out, tell, relate, teach, assert

huwa = he
pronoun, 3rd person, masc, nominative

Allahu = Allah
the u at the end indicates that Allah is the subject

ahad = the one, the only one, one without any partner, one without a second

Allâh s-samad

Allah = Allah

s-samad = eternal, absolute, one whom all need, one who is the foundation of all, solid, independent

Lam yalid wa lam yûlad

lam = (particle) did not, was not

yalid = give birth to, generate, produce, sire, beget
ya is an imperfect prefix, the root is w-l-d

wa = and, and also

lam = (particle) not, did not, was not

yulad = birthed, born, generated, produced, sired, begotten
yu is imperfect prefix, the root is w-l-d

wa lam yaku llahĂ» kufuwan ahad

wa = and, and also

lam = (particle) was not, did not

yaku(n) = is, was
ya is an imperfect prefix, root k-w-n, ( note: the n is not pronounced in this phrase)

llahu = unto Him, with Him

kufuwan = equal, like, comparable, matching, corresponding
root k-f- ' meaning to be comparable, like, similar to

ahad = the One, the only One, the One without any partner, the One without a second

Interpretation:

Armed with these definitions and your own inner guidance, you can create your own poetic rendering of al-Ikhlâs... just go through al-Ikhlâs word-by-word, inserting the definition of each word that seems to speak to you. For example, here is a poetic rendering that I enjoy:

For the glory of Allah, the Merciful One Who is endlessly Beneficent, and Who Graciously rewards those who live in Divine harmony,

1) (Muhammad,) teach them: He, Allah, is the Only One;
2) Allah is the Eternal One upon Whom all depend
3) He Who creates without a partner, and Who was not created
4) and there is none comparable to the One.

Hadith relating to the importance of al-Ikhlâs:

According to al-Bukhari, Abu Sa`id narrated that the Messenger of Allah said to his Companions:

Is one of you not able to recite a third of the Qur'an in a single night?

This was something that was difficult for them and they said, "Which of us is able to do that, O Messenger of Allah?''

To which he replied,



Allah al-Wahid as-Samad is a third of the Qur'an.

References:
Tafsir Ibn Kathir (10 Volumes; Abridged)

Minggu, 09 Maret 2008

Guru Profesional

GURU PROFESIONAL SEPERTI APA?
Guru merupakan profesi pendidik yang memiliki beberapa tugas utama, yaitu mendidik, membina, mengajar, melatih, membimbing, menilai, mengarahkan, dan membentuk watak serta kepribadian peserta didik, sehingga berubah menjadi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan menjadi manusia yang cerdas serta bermartabat.

Profesionalisme merupakan sikap mental yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan diri, sebagai seorang yang bertanggung jawab pada profesinya. Menurut H. Mohamad Surya, kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja sebagai berikut;

  1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal.

  2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi.

  3. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya.

  4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi.

  5. Memiliki kebanggaan terhadap profesinya.

Guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, intelektual, rasa tanggung jawab, pribadi, sosial, spiritual, dan kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. Guru profesional tidak dapat diukur dengan lamanya masa kerja, karena tidak selalu menjadi jaminan bahwa seorang guru profesional.

Sebagai guru profesional, akan sangat senang dan bangga, jika pagi hari bisa menyambut kedatangan anak-anak didiknya dengan senyum bahagia. Guru profesional senantiasa tidak membawa masalah dari rumah ke sekolah, beliau akan menyimpan masalah tersebut di depan gerbang sekolah untuk kemudian mengambilnya kembali pada saat pulang, itu pun kalau masih mau. Tapi, kebanyakan tidak akan mengambil masalah tersebut, karena sudah terhibur dengan anak-anak didik yang menjadi dunia dalam kehidupannya.

Undang-Undang guru dan dosen menyatakan, kedudukan guru merupakan jabatan profesional yang dibuktikan dengan sertifikasi sebagai wujud pengakuan akan kualifikasi dan kompetensi. Undang-Undang tersebut memberikan syarat guru harus memiliki kualifikasi minimal S-1 atau diploma IV dan memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.

Dalam undang-undang guru dan dosen pasal 7, prinsip profesional mencakup karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas, (4) memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi (5) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan, (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesionalan.

Guru profesional ialah guru yang memiliki kompetensi, yang diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Guru profesional diwujudkan melalui sertifikasi yang ditempuh di antaranya dengan portofolio.

Menurut Dr. Dasim, cara berpikir yang dianut dalam sertifikasi guru adalah bahwa portofolio yang berisi notabene rekam jejak kinerja guru, merupakan gerbang pertama untuk memilih dan memilah, mana guru yang telah memiliki kualifikasi dan kompetensi standar dan mana yang belum. Sebagai tim asesor, Dr. Dasim mengemukakan, masa kerja yang identik dengan usia guru bukan satu-satunya komponen penilaian. Masih ada sembilan komponen lain yang perlu dinilai kelayakannya, sehingga tidak perlu heran jika seorang guru yang sudah "berusia" tidak lulus dalam penilaian portofolio, karena tidak meninggalkan jejak yang cukup untuk membuktikan bahwa dirinya memiliki kompetensi yang standar.

Mudah-mudahan sertifikasi guru dapat meningkatkan mutu pendidikan.

Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai ketidaksempurnaan, tetapi kita sebagai pendidik sebaiknya melayani peserta didik dengan kesempurnaan profesi.


Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum merupakan bentuk penjabaran dari amanat Undang-Undang nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal ini secara jelas dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mewujudkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional seperti tersebut di atas perlu wahana dan proses yang memungkinkan peserta didik memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia.

Wahana pembentukan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia perlu dilakukan melalui pendidikan agama Islam di sekolah. Proses ini berlangsung secara terus menerus dari mulai pendidikan usia dini (PAUD) sampai pendidikan tinggi.

Sebagai penjabaran dari tujuan pendidikan nasional, pemerintah melalui peraturan menteri pendidikan nasional nomor 23 tahun 2006 tentang standar isi, menyatakan bahwa pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan : Pertama, menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin ibadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.

Secara formal, peraturan perundang-undangan yang ada sudah memadai untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia, namun dalam pelaksanaannya masih menuai kritik dari masyarakat yaitu bahwa pendidikan agama Islam di sekolah selama ini dinilai hanya membekali peserta didik ilmu pengetahuan agama saja (kognitif) kurang memberikan penekanan pada aspek pengamalan (afektif dan psikomototik).

Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia bukanlah tugas yang ringan dan sederhana. Karena itu merupakan tugas bersama antara pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah melalui pembelajaran di kelas dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran setiap minggunya tidaklah cukup untuk membekali siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lain yang dilakukan secara terus menerus dan tersistem. Sehingga pengamalan nilai-nilai pendidikan agama menjadi budaya dalam komunitas sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tujuan pendidikan agama Islam seperti yang diamanahkan oleh pemerintah dapat dicapai dengan baik.

Selain itu, tidaklah adil apabila pendidikan agam Islam hanya menjadi tugas dan tanggung jawab guru pendidikan agama Islam saja, tanpa didukung oleh pihak-pihak yang terkait di lingkungan sekolah. Oleh sebab itu, pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah merupakan tanggung jawab bersama yakni kepala sekolah, guru agama Islam, guru mata pelajaran umum, karyawan, komite sekolah, siswa, dan pihak-pihak lain yang terkait.

Dengan alasan-alasan seperti tersebut di atas, maka pengembangan dan pengamalan budaya agama Islam dalam komunitas sekolah sangat penting untuk diimplementasikan.

***

Religious culture dalam konteks ini berarti pembudayaan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat, yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil pembelajaran di sekolah, agar menjadi bagian yang menyatu dalam perilaku siswa sehari-hari dalam lingkungan sekolah atau masyarakat. Bentuk kegiatan pengamalan budaya agama Islam di sekolah, di antaranya adalah; membiasakan salam, membiasakan berdoa, membaca al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai, membiasakan kultum, membiasakan shalat dhuha, shalat dhuhur berjamaah, dzikir setelah shalat, menyelenggarakan PHBI, menyantuni anak yatim, acara halal bi halal, dan sebagainya.

Sasaran pengamalan budaya agama Islam (religious culture) adalah siswa dan seluruh komunitas sekolah meliputi kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, dan komite sekolah. Dalam pelaksanaannya program pengamalan budaya agama Islam di sekolah di bawah tanggung jawab kepala sekolah yang secara teknis dibantu oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan guru pendidikan agama Islam. Sedangkan pelaksanaannya adalah semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa).

Pelaksanaan pengamalan budaya agama Islam di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dukungan dan komitmen dari segenap pihak, di antaranya adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagaman serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama mendukung dan terlibat dalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka bukan suatu yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses.

Sebagai upaya sistematis menjalankan pengamalan budaya agama Islam di sekolah perlu dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama Islam di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah (seperti: tempat wudhu, kamar mandi, mukena, mimbar, dsb), alat peraga praktek ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang kelas belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni Islam, ruang multimedia, lab komputer, internet serta laboratorium PAI.***

PROFESIONALISME GURU SEBAGAI SEBUAH KEBUTUHAN


Dalam sebuah laporan yang diterbitkan baru-baru ini, berdasarkan tes yang telah dilakukan oleh Trends In International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) tahun 2003, menunjukkan bahwa para siswa SLTP kelas dua kita, menempati posisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan pertama dan ke sepuluh, pada penilaian kemampuan anak didik di bidang matematika.


Hal yang tidak jauh berbeda, terjadi pula pada nilai penguasaan atas ilmu pengetahuan. Tes yang diselenggarakan dibawah payung organisasi Association for Evaluation of Educational Achievment International (AAEI) ini, kembali menempatkan para siswa Indonesia pada urutan ke 36, dibawah Mesir dan Palestina yang berada satu peringkat diatasnya. Sedangkan Negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, masih menempati nomor pertama dan ke dua puluh dari 50 negara yang ditelaah.


Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang baru-baru ini dipublikasikan, dimana berdasarkan laporan, Human Development Report 2004”, tersebut dinyatakan bahwa angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia mencapai 12,1%. Ini berarti, dari setiap 100 orang Indonesia dewasa yang berusia 15 tahun ke atas, ada 12 orang yang tidak bisa membaca. Angka ini relatif jauh lebih tinggi, apabila kita bandingkan dengan negera-negara lain, seperti Thailand (7,4%), Brunai Darussalam (6,1%) dan Jepang (0,0%).


Pada tahun yang sama (2004), UNDP juga telah mengeluarkan laporannya tentang kondisi HDI (Human Development Indeks)** di Indonesia. Dalam laporan tersebut, HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia yang menempati urutan ke-59, Thailand yang menempati urutan ke 76 dan Philipina yang menempati urutan ke-83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Sebuah negara yang baru saja keluar dari konflik politik yang besar dan baru memulai untuk berbenah diri namun sudah memperlihatkan hasilnya karena membangun dengan tekad dan kesungguhan hati.


Fenomena diatas telah memberi gambaran secara sekilas kepada kita, tentang kondisi dunia pendidikan saat ini di tanah air, dimana kualitas pendidikan di negera kita memang masih jauh dari yang kita harapkan. Perlu sebuah upaya kerja keras tanpa henti dengan melibatkan seluruh stakeholders, agar dunia pendidikan kita benar-benar bangkit dari keterpurukan untuk mengejar ketertinggalannya sehingga mampu berkompetisi secara terhormat dalam era globalisasi yang semakin menguat. Oleh sebab itu reformasi pendidikan, dimana salah satunya issu utamanya adalah peningkatan profesionalisme guru merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam mencapai pendidikan yang lebih berkualitas.


Fenomena dunia pendidikan kita saat ini

Setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan kita saat ini, yaitu : issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana belajar mengajar.


  1. Issu seputar masalah guru


Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.


Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.

Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.


Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.


  1. Masalah kualitas guru

Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan

data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3%nya yang

berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.


  1. Jumlah guru yang masih kurang

Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.


  1. Masalah distribusi guru

Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri

dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.


  1. Masalah kesejahteraan guru

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.


b. Kebijakan pemerintah


Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks ini, beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini. Lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita. Sudah barang tentu, UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka.


Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6%. Tahun 2005, jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29% dan tahun ini, rencananya akan dialokasikan 12,01%, 14,60% untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan menjadi 17,40% dan 20,10%.


c. Manajemen sekolah


Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikiit banyak akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung akan mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit yang biasanya memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban tersendiri bagi ekonomi keluarga.

Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang cenderung membedakan berbabagai bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta, secara langsung maupun tidak telah ikut memperparah ketimpangan dunia pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara maupun sekolah yang di kelola oleh pihak swasta.


d. Saran dan prasarana sekolah


Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupak beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi. Di profinsi Jawa TImur saja, saat ini tercatat 5.373 sekolah dan 20.736 ruang kelas yang harus diperbaiki. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.065 diantaranya adalah SD/MI berjumlah 175, SMP/MTs berjumlah 53 SMA/MA dan SMK berjumlah 80 buah (Kompas, 14 Januari 2006).


Profesionalisme guru sebagai sebuah tuntutan


Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :


1. Sertifikasi sebagai sebuah sarana


Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan.

Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.


2. Perlunya perubahan paradigma


Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).


3. Jenjang karir yang jelas


Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.


4.Peningkatan kesejahteraan yang nyata


Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. (Angelina Sondakh)


KESIMPULAN

Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat dewasa ini, dimana persaingan yang semakin kuat dan proses transfaransi disegala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan anak-anak penerus bangsa, memliki peran dan fungsi yang akan semakin signifikan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penangan lebih serius. Profesinalisme guru adalah sebuah paradigma yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.


Dalam konteks pemberdayaan guru menuju sebuah profesi yang berkualitas diamana secara empiris dapat dipertanggung jawabkan, memerlukan keterlibatan banyak pihak dan stakeholders, termasuk pemerintah sebagai penyelengara Negara. Diperlukan sebuah kondisi yang dapat memicu dan memacu para guru agar dapat bersikap, berbuat serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan bidang ke-ilmuannya masing-masing. Kondisi tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal dan faktor eksternal.


Faktor internal lebih mengarah pada guru itu sendiri, baik secara individual maupun secara institusi sebagai sebuah entitas profesi yang menuntut adanya kesadaran, dan tanggung jawab yang lebih kuat dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Diperlukan sebuah komitmen yang dapat dapat dipertanggung jawabkan, baik secara ilmiah maupun moral, agar guru dapat benar-benar berpikir dan bertindak secara professional sebagaimana profesi-profesi lain yang menuntut adanya suatu keahlian yang lebih spesifik.


Faktor ekternal dalam konteks ini, lebih terkait pada bagaiamana kebijakan pemerintah dalam menodorong dan menciptakan kebijakan maupun atmosfir yang dapat merangsang dan melahirkan guru-guru yang profesional. Hal yang paling mendasar berkaitan dengan masalah ini adalah issu kesejahteraan bagi para guru, agar mereka dapat benar-benar fokus pada peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik.
















Itikad baik harus selalu didukung. Syaratnya tentu direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, serius, tulus dan profesional.

Terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan ini disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional, guru yang kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Sebagai contoh, kasus yang dikemukakan pakar Administrasi Pendidikan UPI Bandung Prof Nanang Fatah, yaitu pada uji kompetensi Matematika. Dari 40 pertanyaan, rata-rata hanya dua pertanyaan yang dijawab dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.

Penggambaran keadaan itu merupakan fakta yang bukan sepenuhnya merupakan kesalahan guru sebagai individu. Karena, rasanya kurang adil dan tidak bijak kita terus menuding permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini dominan disebabkan oleh guru. Kualitas pendidikan ditentukan oleh sebuah sistem yang didukung banyak bagian dari kebijakan yang cerdas dan berpihak pada rakyat, juga implementasi pendidikan yang memenuhi kualifikasi dan prasyarat yang memadai. Tentu saja Depdiknas sebagai institusi pemerintah yang diberi amanat oleh rakyat untuk mengurus pendidikan dalam sebuah sistem kurang dapat melaksanakan dengan baik, kurang amanah.

Program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru. Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards, dewan nasional standar peng cajaran profesional di Amerika Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001.

Jika program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari total pengeluaran untuk gaji pada 2005.

Angka yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan. Peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru, bukan jaminan kinerja guru akan menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan lulusan yang bermutu.

Meski tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas.

Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi, bim salabim. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang karirnya.

Pekerjaan rumah yang tak kalah besar ialah mendidik calon guru demi menciptakan generasi guru baru yang intelek, transformatif dan profesional. Bukan sekadar tukang dan operator. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Mau tidak mau, perlu dikaji terlebih dahulu lembaga yang selama ini menghasilkan tenaga guru.

Tidak ada salahnya, lembaga pendidikan yang melahirkan tenaga guru belajar dari Fakultas Kedokteran yang mencetak tenaga dokter. Sebuah proses pembelajaran yang ajeg dan meyakinkan, semua pihak percaya dan yakin pada profesionalisme dokter (meski akhir-akhir ini banyak kasus tentang mal praktik). Setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan dokter, ia berhak atas gelar akademis sarjana kedokteran atau dahulu disebut dokter muda. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti kegiatan profesi dokter (ko-asistensi) di rumah sakit yang ditentukan, minimal dua tahun. Di sinilah kawah candradimuka untuk menjadi seorang dokter. Merupakan medan nyata (emphirical field) kerja dokter setelah proses teoritis selama manjalani pendidikan kedokteran. Setelah dinyatakan lulus ujian profesi dokter, barulah ia berhak disebut dokter (dr).

Pemeliharaan profesi dokter pun didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewajibkan dokter untuk mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di daerah yang ditentukan, atau dapat diganti dengan kompensasi tertentu yang dianggap tidak mengurangi nilai pengabdian dan profesionalisme. Demikian juga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau asosiasi profesi guru apa pun namanya, harus dapat berjuang untuk memelihara profesi guru.

Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.

Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.

Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.

Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya. Semoga!