Sabtu, 21 Juni 2008

8 Syarat Taqwa

Menjadi seorang muslim belum mendapat jaminan dari Allah, yang akan Allah bela. Menjadi orang Islam semata-mata belum ada jaminan dari Allah akan diampunkan dosanya. Menjadi orang Islam saja belum ada jaminan dari Allah bahwa amal ibadahnya akan diterima. Menjadi orang Islam saja belum ada jaminan bahwa Allah akan memberi bantuan dariNya. Karena menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu sudah shalat, berpuasa, naik haji, kita tidak boleh menuduh orang itu kafir. Dia termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu ia seorang bertaqwa.

Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia dan di Akhirat. Bila jadi orang bertaqwa barulah dosa diampunkan, barulah amal ibadah ini diterima, barulah mendapat pimpinan dari Allah. Secara langsung Allah menjadi pemimpinnya. Bila menjadi orang bertaqwa pintu rezeki akan terbuka, tidak tahu dari mana datang dan sumbernya. Bila menjadi orang yang bertaqwa Allah mudahkan kerja-kerjanya. Bila buat kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau buat banyak, lebih banyaklah yang akan diperoleh. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya :
"Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri rezeki sekira-kira tidak terduga-duga"

"Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah akan permudah segala urusannya"
[Q.S. At-Talaq : 4]

"Allah menjadi pemimpin (pembela) orang yang bertaqwa"
[Q.S. Al Jasiah : 19]

Dalam ayat yang lain :
"Sesungguhnya amal ibadah yang diterima dari orang yang bertaqwa"
"Dan jika ada penduduk sebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, maka akan Allah bukakan berkat dari pintu langit dan bumi"
[Q.S. Al-A'raf : 96]

Allah akan buka pintu berkat dari langit dan bumi, maka sudah tentu kehidupan orang bertaqwa akan aman damai, berkasih sayang, mesra, selamat sejahtera, tidak ada gangguan, penuh harmoni dan indah, di dunia sudah dapat Syurga dan pastilah di Akhirat akan dapat Syurga yang kekal abadi.

Banyak lagi ayat-ayat yang memberitahu bahwa setelah seseorang atau satu bangsa itu menjadi orang yang bertaqwa, barulah dapat pembelaan dari Allah. Kalau hanya sekedar Islam tidak ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia maupun di Akhirat. Inilah yang terjadi kepada seluruh umat Islam di dunia hari ini. Rata-rata umat Islam sebagai seorang muslim tetapi tidak menjadi orang yang bertaqwa. Sebab itu tidak ada pembelaan dari Allah. Bila tidak ada pembelaan dari Allah, coba kita lihat apa yang terjadi. Hidup tidak bersatu padu, musuh menekan, menghina, menderita, menjadi hamba orang, susah dan tersingkir di mana-mana. Jumlah banyak tapi tidak berguna. Ramai tapi tidak berguna laksana buih di laut.

Jadi sekesar menjadi seorang Islam saja jangan berbangga sebab masih belum ada jaminan dan pembelaan dari Allah. Oleh karena itu kita mesti menjadi orang bertaqwa barulah jaminan dan pembelaan akan diperoleh baik di dunia maupun di Akhirat. Oleh itu kita mesti berusaha bersungguh-sungguh dalam hidup ini untuk memiliki sifat taqwa. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang bercita-cita membangunkan Islam, perlu berusaha menjadikan diri mereka orang yang bertaqwa.

Orang Islam yang mempunyai cita-cita perjuangan bukan saja ingin memperbaiki dirinya tetapi juga ingin membaiki masyarakat. Untuk itu, dia mesti faham bagaimana memperbaiki dirinya sendiri dan bagaimana untuk memperbaiki masyarakat.

Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :

1. Dapat Petunjuk dari Allah

Di sinilah modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah :

"Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya untuk menerima Islam"
[Q.S. Al An'am : 125]

Jadi kalau seseornag itu Allah buka pintu hatinya hingga dia sayang, suka, minat, terhibur dan senang dengan Islam, maka itulah anak kunci yang pertama untuk dia bertindak memperbaiki diri. Tetapi kalau hati sudah tertutup, hidayah sudah tidak dapat, rasa senang hati dengan Islam sudah tidak ada, walau pakar Islam, hafiz Al Qur'an, hafiz ribuan hadits namun tidak akan dapat memperbaiki diri. Kenapa ? Dorongan tidak ada. Rasa minat, cinta dan suka pada Islam, itulah dorongannya. Ibarat orang yang cinta dengan isteri, apa saja kehendak isterinya akan dituruti dan dia akan berkorban habis-habisan, hatta nyawa sekalipun.

2. Faham Tentang Islam

Faham tentang Islam. Bukan diberitahu tenatng Islam. Bukan diajar tentang Islam. Inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW :

"Barang siapa yang Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam"

Kalau begitu sekiranya sekedar diajar atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang itu menjadi baik. Tetapi kalau diberi "faham" itulah tanda seseorang itu akan membuat perubahan. Sebab bila dikatakan "diberi faham", akan jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya "diberitahu" hanya diakal saja. Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang Islam, hanya berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal, ceramahnya hebat, dapat menulis dsb. Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan menjadi keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu yang ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong untuk memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya. Tetapi kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.

Sebab itulah orang alim banyak tetapi orang "fakih" sedikit. Yang diajar dan diberitahu ilmu Islam itu banyak tetapi yang menjiwai tentang Islam itu tidak banyak. Seseorang yang sekedar diberitahu dan diajar tentang Islam, belum tentu akan terdorong untuk memperbaiki diri. Akalnya terisi dengan ilmu Islam, tapi kalau ilmu itu tidak berasas dalam hati, dorongan untuk memperbaiki diri tidak ada. Sedangkan kalau ilmu disertai kefahaman, maknanya seseorang itu tahu dari hati atau jiwa, bukan sekedar dengan akal, dan ini akan mendorongnya memperbaiki diri.

Namun perlu diingat, kalau hati terbuka untuk menerima Islam, tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan dapat berbuat. Beramal tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana pohon tidak berbuah.

Jadi kefahaman tentang Islam ini perlu ada. Memahami Islam secara syumul, secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian. Memahami Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam sebagai cara hidup, atau dengan kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama akidah, ajaran ibadah, dakwah, ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma'ruf wanahyu a'nil mungkar, tarbiah, pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan hinggalah ke alam sejagat.

Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak dapat faham begitu saja. Mesti melahirkan sebab, seperti dengan belajar, membaca, menelaah, muzakarah, bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada menerima Islam saja tidak cukup. Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan bertindak berdasarkan kefahaman itu.

Kalau sesuatu amalan itu dibuat atas dasar tahu tanpa disertai kefahaman, jadilah amalan itu sekedar betul lahirnya tapi batinnya rosak. Misalnya, dia tahu tentang shalat dan akan melakukan shalat tapi ruh shalat tidak ada. Bila roh shalat tidak ada, hakikatnya dia belum mengerjakan shalat. Begitu juga orang yang sekedar tahu ilmu berjuang dan dapat berjuang; lahirnya saja bagus, tapi hatinya sudah rusak. Roh berjuang tidak ada. Sedangkan kalau diberi ilmu puasa saja dan memang kemampuan pun ada, maka ia akan berpuasa, tapi yang berpuasa hanyalah tangannya, mulutnya, matanya dan perutnya, sedangkan rohnya, hatinya dan nafsunya tidak berpuasa.

Sebab "mengetahui" itu hanya terhadap benda-benda lahir yang dapat dinilai oleh mata kepala. Tetapi "faham" itu lebih mendalam yaitu hati dan rohani sama-sama merasa, bukan akal semata-mata.

Begitu juga, tidak cukup membangunkan Islam dengan cara semangat-semangat, slogan-slogan, pekik sana sini, demonstrasi sana sini, kutuk orang ini itu. Itu bukan faham namanya. Jangankan faham, kadang-kadang ilmu pun belum ada. Ini lebih rusak lagi. Beraninya seperti lembu. Lembu, kalau berani, tembok pun ditanduknya. Itu bodoh namanya. Beranikah itu namanya ? Laksana air bah, kalau tidak ada saluran yang betul, habislah dihanyutkannya pohon kelapa orang, kebun orang, rumah orang dan sebagainya. Tapi kalau ada saluran yang betul, air bah itu dapat dialirkan ke sungai. Ada parit, dapat tangkap ikan, dapat main sampan. Minimal kalau berani atas dasar ilmu tapi yang yang paling baik atas dasar faham. Kalau tidak faham, mesti tanya, belajar, muzakarah, berbincang, banyak menelaah dan lain-lain.

3. Yakin

Apa saja ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau zan. Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu kita belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam. Kadang-kadang hati kecil kita bertanya "Iya kah ? Betulkah ?" sudah belajar teori ekonomi, tapi hati kecil pula berkata "Eh, kalau aku buat ini, boleh dapat untungkah ?"

Ada rasa was-was. Ilmu luar Islam boleh begitu. Kalau kita belajar ideologi, belajar teori politik, teori ekonomi dan sebagainya sehingga pandai dan pakar serta boleh mensyarahkannya, tetapi ada rasa ragu, ada syak, waham, zan atau ada rasa tanda tanya, itu tidak salah. Tetapi ilmu Islam tidak boleh begitu. Terutamanya yang ada hubungan dengan akidah. Sebab itu kita mesti amalkan atas dasar keyakinan.

4. Melaksanakan

Setelah kita mengetahui, faham dan yakin dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak dan mengamalkannya. Perintah fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan; perintah ahram dan makruh mesti ditinggalkan. Perintah buat itu baik yang fardhu ain, maupun yang fardhu kifayah. Manakala yang sunat kita laksanakan sejauh yang termampu. Kalau boleh, yang harus pun dijadikan ibadah dengan menempuh lima syarat.

Buah ilmu itulah amalnya. Jadi sekiranya ilmu itu tidak diamalkan, jadilah ilmu yang tidak berbuah. Pepatah Arab ada berkata :"Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tidak berbuah".

Orang yang tidak menanam pohon durian tidak dapat makan buah durian. Orang yang memiliki pohon durian, tapi ketika musim durian tidak berbuah, maka senasib dia dengan orang yang tidak memiliki pohon durian. Orang yang tidak memiliki pohon durian, tidak makan buah durian itu sudah sewajarnya. Tapi orang yang memiliki pohon durian tapi tidak makan buah durian karena pohon duriannya tidak berbuah, ini lebih malang nasibnya.

Begitulah kita senang saja beramal tapi malas hendak menuntut ilmu, maka banyaklah kesalahan yang dibuat. Amalannya tidak disuluh dengan ilmu, maka akan tertolak amalannya itu. Bila ada ilmu tidak diamalkan maka ibarat pohon tidak berbuah. Bahkan dalam Matan Zubat dikatakan :

"Orang yang berilmu tapi tidak beramal akan masuk ke Neraka 500 tahun lebih dahulu dari penyembah berhala"

Oleh itu jangan jadikan ilmu Islam sebagai "mental exercise" atau riadhah aqidah saja. Kalau kita belajar ilmu ekonomi misalnya, tidak berniaga pun tidak mengapa. Kita belajar ilmu politik, tidak berpolitik pun tidak apa. Tetapi ilmu Islam mesti dilaksanakan. Jadikanlah ilmu yang ada pada kita itu, yang telah kita fahami menjadi panduan hidup dalam semua hal. Dalam menegakkan akhlak, masyarakat, perjuangan, membangun jemaah, berumah tangga, dalam ekonomi, pendidikan, mencari rezeki dan sebagainya. Hingga benar-benar menjaid panduan hidup, agar semua tindak tanduk kita jadi ibadah dan diterima oleh Allah sebagai pahala.

5. Bermujahadah

Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita, yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata-kata yang lain, nafsu adalah highway untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat.

"Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan"
[Q.S. Yusuf : 53]

Dan ini dikuatkan lagi oleh sabda Rasulullah SAW :

"Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu".

Nafsu itulah yang menjadi penghalang pertama dan utama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali.

Nafsulah penghalang yang paling jahat. Kenapa ? Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah bagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jikalau tidak ada nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita, memusuhi kita. Ia adalah jizmullatif, tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengam mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak atau mata hati. Oleh itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.

Nafsu adalah penghalang yang besar. Kalau hendak shalat bukan mudah untuk mujahadah. Akhirnya terlambat shalat subuh. Sipa yang membisikkan kepada kita ? Itulah nafsu. Tidak mudah hendak berjuang dan berkorban. Tidak mudah hendak sabar apabila berhadapan dengan ujian. Tidak mudah sebab nafsu tidak mau. Begitu juga hendak memberi maaf orang yang berbuat salah kepada kita ? Kita rasa terhina hendak memaafkan orang yang bersalah kepada kita. Lebih-lebih lagi kita yang bersalah, hendak minta maaf lebih sukar lagi. Terasa tergugat ego kita. Lebih-lebih lagi apabila ada jabatan dan pengaruh. Tidak mudah untuk ikut syariat, jika nafsu mengatakan jangan. Sebab itu barang siapa yang berjaya melawan hawa nafsu dia dianggap pahlawan. Dianggap orang berani dan luar biasa. Sebab itu ada hadits yang mengatakan :

"Tidak dianggap seseorang itu berani bila ia dapat mengalahkan musuhnya, tetapi dianggap berani, jika seseorang itu dapat melawan hawa nafsunya."

Bukannya seperti yang terjadi hari ini, gelar "Tokoh" atau "pahlawan" yang dikaruniakan kepada seseorang, bila kita tinjauh kehidupan mereka, kebanyakan mereka yang sudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Itulah pahlawan yang palsu. Pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya. Inilah yang dikatakan pejuang yang hakiki. Selagi hawa nafsu tidak dapat diperangi, selama itu seseorang itu tidak akan tertuju kepada Allah. Tidak akan dapat benar-benar berbakti kepada Allah. Tidak akan jatuh cinta kepada Allah. Tidak akan dapat memberi ketaatan yang sesungguhnya kepada Allah. Kalau nafsu tidak diperangi, tidak akan dapat hidup dalam kebenaran. Hidup dalam pimpinan Allah. Firman Allah :

"Mereka yang berjuang untuk melawan hawa nafsu karena hendak menempuh jalan Kmai, sesungguhnya Kami akan tunjuki jalan Kami. Sesungguhnya Allah itu beserta dengan orang yang buat baik."

Ini jaminan dari Allah. Siapa yang melawan hawa nafsu, Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang sebenarnya. Inilah rahasia untuk mendapatkan pembelaan dari Allah.

Artinya mereka mendapatkan pembelaan dari Allah sejak di dunia. Jadi sesiapa yang sanggup melawan hawa nafsu, dia adalah rijalullah (orang Allah, keluarga Allah, kepunyaan Allah, tentara Allah), siapa yang menjadi kepunyaan Allah atau tentara Allah, dia akan dibantu oleh Allah. Tetapi selagi belum menjadi tentara Allah, sebaliknya menjadi tentara manusia atau tentara syaitan Allah akan biarkan. Kalau diberi kemenangan atas dasar kuat, bukan atas dasar bantuan. Manakala yang lemah akan diberi kekalahan.

Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam yang terabai, banyak perintah Allah dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah yang akan dibuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi tawanan kita.

6. Istiqamah Beramal

Beramal jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat, terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW :

"Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit".

Apa yang dimaksudkan sedikit ? Sekiranya tidak diuraikan, nanti ada mereka yang ambil kesempatan dengan berkata: "yang penting istiqamah, tetap Allah terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu dibuat". Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan wajib memang tidak dapat ditinggalkan.

Amalan yang istiqamah akan membuat kesan pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan air, walaupun kecil dan lembut tapi jika ia meniti sepanjang masa, lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya, air banjir yang datang setahun sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun besar tetapi tidak dapat melekukkan batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah sangat memberi kesan pada hati. Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik, membuahkan akhlak yang mulia. Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun banyak tetapi tidak secara istiqamah, tidak memberi bekas pada jiwa.

7. Ada Pemimpin yang Memimpin

Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah.

Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan 'mursyidun' maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.

Orang yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua'llim. Juga tidak sama dengan ustaz dan guru. Sebab mu'alim itu hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang luar. Tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah memberi padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Sebab itu sebagaimana hebat alim seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.

Memang guru, pemimpin itu susah dicari. Apalagi di jaman sekarang yang sudah jauh dari Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ghazali r.h. berkata:

"Untuk mencari seorang mursyid, laksana mencari belerang merah"

Begitulah susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak wujud lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka berjuangpun hanya main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi perlu ada guru yang mursyid, yang dapat memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam hal keci sekalipun.

Tetapi di sinilah banyak yang tidak faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata "kalaulah kita sudah berguru ke satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain". Ini satu fahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak; seorang saja. Tapi kalau guru sumber ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Imam Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.

Guru pimpinan, tempat rujuk dalam semua hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk dapat berkat mesti bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib arahdi, sebab mentaati pemimpin adalah wajib. Di sinilah kebanyakan kesalahan pejuang sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah, tetapi bila ada masalah dalam jemaah dia rujuk pada 'ulama luar jemaah' atau dukun.

Jadi setiap orang yang ingin membaiki dirinya mesti ada mursyid yang akan memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim, hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa ? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya. Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, "Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan ? Saya boleh pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar kepada orang lain ?" Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.

Orang yang boleh memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang hatinya terbuka tidak banyak. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Imam Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena semua Imam mahzab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering menziarahi ahli-ahli sufi di ujung negeri Baghdad.

Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid.

8. Berdoa Kepada Allah

Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.

Dapat hidayah itu lebih mudah. Contohnya dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka kepada Islam. Tetapi belum tentu dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras dengan ilmu atau dengan apa yang dia mau. Praktikal dengan teorinya sama. Ilmiah dengan amaliahnya sama.

Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah, jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun diperintah. Dia tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah. Bila Allah beri hidayah dan taufiq semua masalah selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih lagilah jadi terlalu kecil.

Ilmu Islam seperti juga sebagaimana ilmu dunia juga. Tidak mesti kita belajar ilmu dan apabila diamalkan itu tepat sebagaimana belajar. Kebanyakannya tidak tepat walaupun sudah ada nasnya. Tepat yang lahir, batin pula yang tidak kena. Contohnya kita belajar ilmu shalat. Dari segi rukuk, sujud, tepat sebagaimana dalam kitabnya. Tapi yang batin, hati tidak sujud, hati pula yang tidak rukuk. Inilah yang dikatakan taufiq tidak ada sebaliknya hanya dapat hidayah saja.
Contoh yang lain, seorang yang belajar ilmu ekonomi yang selalu memikirkan soal untung dan rugi. Tetapi bila praktikal tidak selalu begitu. Sebab itu mandor lebih pakar dari enginer. Enginer tahu menyebut dari segi istilah saja sesuatu 'barang'. Tetapi seorang mandor istilahnya tidak tahu menyebutnya tapi dialah yang pakar mengoperasikannya.

Jadi teori dengan amal tidak selaras walaupun dari segi ilmunya sudah nampak tepat. Tetapi bila buat tidak tepat. Itulah yang menunjukkan selain Allah tidak memberi bekas. Oleh itu mesti selalu berdoa kepada Allah agar dikaruniakan hidayah dan taufiq. Bila Allah berikan hidayah dan taufiq, semua apa yang dibuatnya akan tepat.

Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang ditempuh oleh seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa. Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat ganjaran dari Allah dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang bertaqwa selagi itulah Allah tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan daripada Allah SWT.

8 Syarat Taqwa

Menjadi seorang muslim belum mendapat jaminan dari Allah, yang akan Allah bela. Menjadi orang Islam semata-mata belum ada jaminan dari Allah akan diampunkan dosanya. Menjadi orang Islam saja belum ada jaminan dari Allah bahwa amal ibadahnya akan diterima. Menjadi orang Islam saja belum ada jaminan bahwa Allah akan memberi bantuan dariNya. Karena menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu sudah shalat, berpuasa, naik haji, kita tidak boleh menuduh orang itu kafir. Dia termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu ia seorang bertaqwa.

Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia dan di Akhirat. Bila jadi orang bertaqwa barulah dosa diampunkan, barulah amal ibadah ini diterima, barulah mendapat pimpinan dari Allah. Secara langsung Allah menjadi pemimpinnya. Bila menjadi orang bertaqwa pintu rezeki akan terbuka, tidak tahu dari mana datang dan sumbernya. Bila menjadi orang yang bertaqwa Allah mudahkan kerja-kerjanya. Bila buat kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau buat banyak, lebih banyaklah yang akan diperoleh. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya :
"Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri rezeki sekira-kira tidak terduga-duga"

"Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah akan permudah segala urusannya"
[Q.S. At-Talaq : 4]

"Allah menjadi pemimpin (pembela) orang yang bertaqwa"
[Q.S. Al Jasiah : 19]

Dalam ayat yang lain :
"Sesungguhnya amal ibadah yang diterima dari orang yang bertaqwa"
"Dan jika ada penduduk sebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, maka akan Allah bukakan berkat dari pintu langit dan bumi"
[Q.S. Al-A'raf : 96]

Allah akan buka pintu berkat dari langit dan bumi, maka sudah tentu kehidupan orang bertaqwa akan aman damai, berkasih sayang, mesra, selamat sejahtera, tidak ada gangguan, penuh harmoni dan indah, di dunia sudah dapat Syurga dan pastilah di Akhirat akan dapat Syurga yang kekal abadi.

Banyak lagi ayat-ayat yang memberitahu bahwa setelah seseorang atau satu bangsa itu menjadi orang yang bertaqwa, barulah dapat pembelaan dari Allah. Kalau hanya sekedar Islam tidak ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia maupun di Akhirat. Inilah yang terjadi kepada seluruh umat Islam di dunia hari ini. Rata-rata umat Islam sebagai seorang muslim tetapi tidak menjadi orang yang bertaqwa. Sebab itu tidak ada pembelaan dari Allah. Bila tidak ada pembelaan dari Allah, coba kita lihat apa yang terjadi. Hidup tidak bersatu padu, musuh menekan, menghina, menderita, menjadi hamba orang, susah dan tersingkir di mana-mana. Jumlah banyak tapi tidak berguna. Ramai tapi tidak berguna laksana buih di laut.

Jadi sekesar menjadi seorang Islam saja jangan berbangga sebab masih belum ada jaminan dan pembelaan dari Allah. Oleh karena itu kita mesti menjadi orang bertaqwa barulah jaminan dan pembelaan akan diperoleh baik di dunia maupun di Akhirat. Oleh itu kita mesti berusaha bersungguh-sungguh dalam hidup ini untuk memiliki sifat taqwa. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang bercita-cita membangunkan Islam, perlu berusaha menjadikan diri mereka orang yang bertaqwa.

Orang Islam yang mempunyai cita-cita perjuangan bukan saja ingin memperbaiki dirinya tetapi juga ingin membaiki masyarakat. Untuk itu, dia mesti faham bagaimana memperbaiki dirinya sendiri dan bagaimana untuk memperbaiki masyarakat.

Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :

1. Dapat Petunjuk dari Allah

Di sinilah modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah :

"Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya untuk menerima Islam"
[Q.S. Al An'am : 125]

Jadi kalau seseornag itu Allah buka pintu hatinya hingga dia sayang, suka, minat, terhibur dan senang dengan Islam, maka itulah anak kunci yang pertama untuk dia bertindak memperbaiki diri. Tetapi kalau hati sudah tertutup, hidayah sudah tidak dapat, rasa senang hati dengan Islam sudah tidak ada, walau pakar Islam, hafiz Al Qur'an, hafiz ribuan hadits namun tidak akan dapat memperbaiki diri. Kenapa ? Dorongan tidak ada. Rasa minat, cinta dan suka pada Islam, itulah dorongannya. Ibarat orang yang cinta dengan isteri, apa saja kehendak isterinya akan dituruti dan dia akan berkorban habis-habisan, hatta nyawa sekalipun.

2. Faham Tentang Islam

Faham tentang Islam. Bukan diberitahu tenatng Islam. Bukan diajar tentang Islam. Inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW :

"Barang siapa yang Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam"

Kalau begitu sekiranya sekedar diajar atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang itu menjadi baik. Tetapi kalau diberi "faham" itulah tanda seseorang itu akan membuat perubahan. Sebab bila dikatakan "diberi faham", akan jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya "diberitahu" hanya diakal saja. Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang Islam, hanya berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal, ceramahnya hebat, dapat menulis dsb. Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan menjadi keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu yang ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong untuk memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya. Tetapi kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.

Sebab itulah orang alim banyak tetapi orang "fakih" sedikit. Yang diajar dan diberitahu ilmu Islam itu banyak tetapi yang menjiwai tentang Islam itu tidak banyak. Seseorang yang sekedar diberitahu dan diajar tentang Islam, belum tentu akan terdorong untuk memperbaiki diri. Akalnya terisi dengan ilmu Islam, tapi kalau ilmu itu tidak berasas dalam hati, dorongan untuk memperbaiki diri tidak ada. Sedangkan kalau ilmu disertai kefahaman, maknanya seseorang itu tahu dari hati atau jiwa, bukan sekedar dengan akal, dan ini akan mendorongnya memperbaiki diri.

Namun perlu diingat, kalau hati terbuka untuk menerima Islam, tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan dapat berbuat. Beramal tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana pohon tidak berbuah.

Jadi kefahaman tentang Islam ini perlu ada. Memahami Islam secara syumul, secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian. Memahami Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam sebagai cara hidup, atau dengan kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama akidah, ajaran ibadah, dakwah, ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma'ruf wanahyu a'nil mungkar, tarbiah, pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan hinggalah ke alam sejagat.

Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak dapat faham begitu saja. Mesti melahirkan sebab, seperti dengan belajar, membaca, menelaah, muzakarah, bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada menerima Islam saja tidak cukup. Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan bertindak berdasarkan kefahaman itu.

Kalau sesuatu amalan itu dibuat atas dasar tahu tanpa disertai kefahaman, jadilah amalan itu sekedar betul lahirnya tapi batinnya rosak. Misalnya, dia tahu tentang shalat dan akan melakukan shalat tapi ruh shalat tidak ada. Bila roh shalat tidak ada, hakikatnya dia belum mengerjakan shalat. Begitu juga orang yang sekedar tahu ilmu berjuang dan dapat berjuang; lahirnya saja bagus, tapi hatinya sudah rusak. Roh berjuang tidak ada. Sedangkan kalau diberi ilmu puasa saja dan memang kemampuan pun ada, maka ia akan berpuasa, tapi yang berpuasa hanyalah tangannya, mulutnya, matanya dan perutnya, sedangkan rohnya, hatinya dan nafsunya tidak berpuasa.

Sebab "mengetahui" itu hanya terhadap benda-benda lahir yang dapat dinilai oleh mata kepala. Tetapi "faham" itu lebih mendalam yaitu hati dan rohani sama-sama merasa, bukan akal semata-mata.

Begitu juga, tidak cukup membangunkan Islam dengan cara semangat-semangat, slogan-slogan, pekik sana sini, demonstrasi sana sini, kutuk orang ini itu. Itu bukan faham namanya. Jangankan faham, kadang-kadang ilmu pun belum ada. Ini lebih rusak lagi. Beraninya seperti lembu. Lembu, kalau berani, tembok pun ditanduknya. Itu bodoh namanya. Beranikah itu namanya ? Laksana air bah, kalau tidak ada saluran yang betul, habislah dihanyutkannya pohon kelapa orang, kebun orang, rumah orang dan sebagainya. Tapi kalau ada saluran yang betul, air bah itu dapat dialirkan ke sungai. Ada parit, dapat tangkap ikan, dapat main sampan. Minimal kalau berani atas dasar ilmu tapi yang yang paling baik atas dasar faham. Kalau tidak faham, mesti tanya, belajar, muzakarah, berbincang, banyak menelaah dan lain-lain.

3. Yakin

Apa saja ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau zan. Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu kita belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam. Kadang-kadang hati kecil kita bertanya "Iya kah ? Betulkah ?" sudah belajar teori ekonomi, tapi hati kecil pula berkata "Eh, kalau aku buat ini, boleh dapat untungkah ?"

Ada rasa was-was. Ilmu luar Islam boleh begitu. Kalau kita belajar ideologi, belajar teori politik, teori ekonomi dan sebagainya sehingga pandai dan pakar serta boleh mensyarahkannya, tetapi ada rasa ragu, ada syak, waham, zan atau ada rasa tanda tanya, itu tidak salah. Tetapi ilmu Islam tidak boleh begitu. Terutamanya yang ada hubungan dengan akidah. Sebab itu kita mesti amalkan atas dasar keyakinan.

4. Melaksanakan

Setelah kita mengetahui, faham dan yakin dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak dan mengamalkannya. Perintah fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan; perintah ahram dan makruh mesti ditinggalkan. Perintah buat itu baik yang fardhu ain, maupun yang fardhu kifayah. Manakala yang sunat kita laksanakan sejauh yang termampu. Kalau boleh, yang harus pun dijadikan ibadah dengan menempuh lima syarat.

Buah ilmu itulah amalnya. Jadi sekiranya ilmu itu tidak diamalkan, jadilah ilmu yang tidak berbuah. Pepatah Arab ada berkata :"Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tidak berbuah".

Orang yang tidak menanam pohon durian tidak dapat makan buah durian. Orang yang memiliki pohon durian, tapi ketika musim durian tidak berbuah, maka senasib dia dengan orang yang tidak memiliki pohon durian. Orang yang tidak memiliki pohon durian, tidak makan buah durian itu sudah sewajarnya. Tapi orang yang memiliki pohon durian tapi tidak makan buah durian karena pohon duriannya tidak berbuah, ini lebih malang nasibnya.

Begitulah kita senang saja beramal tapi malas hendak menuntut ilmu, maka banyaklah kesalahan yang dibuat. Amalannya tidak disuluh dengan ilmu, maka akan tertolak amalannya itu. Bila ada ilmu tidak diamalkan maka ibarat pohon tidak berbuah. Bahkan dalam Matan Zubat dikatakan :

"Orang yang berilmu tapi tidak beramal akan masuk ke Neraka 500 tahun lebih dahulu dari penyembah berhala"

Oleh itu jangan jadikan ilmu Islam sebagai "mental exercise" atau riadhah aqidah saja. Kalau kita belajar ilmu ekonomi misalnya, tidak berniaga pun tidak mengapa. Kita belajar ilmu politik, tidak berpolitik pun tidak apa. Tetapi ilmu Islam mesti dilaksanakan. Jadikanlah ilmu yang ada pada kita itu, yang telah kita fahami menjadi panduan hidup dalam semua hal. Dalam menegakkan akhlak, masyarakat, perjuangan, membangun jemaah, berumah tangga, dalam ekonomi, pendidikan, mencari rezeki dan sebagainya. Hingga benar-benar menjaid panduan hidup, agar semua tindak tanduk kita jadi ibadah dan diterima oleh Allah sebagai pahala.

5. Bermujahadah

Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita, yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata-kata yang lain, nafsu adalah highway untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat.

"Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan"
[Q.S. Yusuf : 53]

Dan ini dikuatkan lagi oleh sabda Rasulullah SAW :

"Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu".

Nafsu itulah yang menjadi penghalang pertama dan utama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali.

Nafsulah penghalang yang paling jahat. Kenapa ? Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah bagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jikalau tidak ada nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita, memusuhi kita. Ia adalah jizmullatif, tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengam mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak atau mata hati. Oleh itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.

Nafsu adalah penghalang yang besar. Kalau hendak shalat bukan mudah untuk mujahadah. Akhirnya terlambat shalat subuh. Sipa yang membisikkan kepada kita ? Itulah nafsu. Tidak mudah hendak berjuang dan berkorban. Tidak mudah hendak sabar apabila berhadapan dengan ujian. Tidak mudah sebab nafsu tidak mau. Begitu juga hendak memberi maaf orang yang berbuat salah kepada kita ? Kita rasa terhina hendak memaafkan orang yang bersalah kepada kita. Lebih-lebih lagi kita yang bersalah, hendak minta maaf lebih sukar lagi. Terasa tergugat ego kita. Lebih-lebih lagi apabila ada jabatan dan pengaruh. Tidak mudah untuk ikut syariat, jika nafsu mengatakan jangan. Sebab itu barang siapa yang berjaya melawan hawa nafsu dia dianggap pahlawan. Dianggap orang berani dan luar biasa. Sebab itu ada hadits yang mengatakan :

"Tidak dianggap seseorang itu berani bila ia dapat mengalahkan musuhnya, tetapi dianggap berani, jika seseorang itu dapat melawan hawa nafsunya."

Bukannya seperti yang terjadi hari ini, gelar "Tokoh" atau "pahlawan" yang dikaruniakan kepada seseorang, bila kita tinjauh kehidupan mereka, kebanyakan mereka yang sudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Itulah pahlawan yang palsu. Pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya. Inilah yang dikatakan pejuang yang hakiki. Selagi hawa nafsu tidak dapat diperangi, selama itu seseorang itu tidak akan tertuju kepada Allah. Tidak akan dapat benar-benar berbakti kepada Allah. Tidak akan jatuh cinta kepada Allah. Tidak akan dapat memberi ketaatan yang sesungguhnya kepada Allah. Kalau nafsu tidak diperangi, tidak akan dapat hidup dalam kebenaran. Hidup dalam pimpinan Allah. Firman Allah :

"Mereka yang berjuang untuk melawan hawa nafsu karena hendak menempuh jalan Kmai, sesungguhnya Kami akan tunjuki jalan Kami. Sesungguhnya Allah itu beserta dengan orang yang buat baik."

Ini jaminan dari Allah. Siapa yang melawan hawa nafsu, Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang sebenarnya. Inilah rahasia untuk mendapatkan pembelaan dari Allah.

Artinya mereka mendapatkan pembelaan dari Allah sejak di dunia. Jadi sesiapa yang sanggup melawan hawa nafsu, dia adalah rijalullah (orang Allah, keluarga Allah, kepunyaan Allah, tentara Allah), siapa yang menjadi kepunyaan Allah atau tentara Allah, dia akan dibantu oleh Allah. Tetapi selagi belum menjadi tentara Allah, sebaliknya menjadi tentara manusia atau tentara syaitan Allah akan biarkan. Kalau diberi kemenangan atas dasar kuat, bukan atas dasar bantuan. Manakala yang lemah akan diberi kekalahan.

Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam yang terabai, banyak perintah Allah dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah yang akan dibuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi tawanan kita.

6. Istiqamah Beramal

Beramal jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat, terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW :

"Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit".

Apa yang dimaksudkan sedikit ? Sekiranya tidak diuraikan, nanti ada mereka yang ambil kesempatan dengan berkata: "yang penting istiqamah, tetap Allah terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu dibuat". Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan wajib memang tidak dapat ditinggalkan.

Amalan yang istiqamah akan membuat kesan pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan air, walaupun kecil dan lembut tapi jika ia meniti sepanjang masa, lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya, air banjir yang datang setahun sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun besar tetapi tidak dapat melekukkan batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah sangat memberi kesan pada hati. Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik, membuahkan akhlak yang mulia. Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun banyak tetapi tidak secara istiqamah, tidak memberi bekas pada jiwa.

7. Ada Pemimpin yang Memimpin

Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah.

Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan 'mursyidun' maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.

Orang yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua'llim. Juga tidak sama dengan ustaz dan guru. Sebab mu'alim itu hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang luar. Tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah memberi padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Sebab itu sebagaimana hebat alim seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.

Memang guru, pemimpin itu susah dicari. Apalagi di jaman sekarang yang sudah jauh dari Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ghazali r.h. berkata:

"Untuk mencari seorang mursyid, laksana mencari belerang merah"

Begitulah susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak wujud lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka berjuangpun hanya main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi perlu ada guru yang mursyid, yang dapat memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam hal keci sekalipun.

Tetapi di sinilah banyak yang tidak faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata "kalaulah kita sudah berguru ke satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain". Ini satu fahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak; seorang saja. Tapi kalau guru sumber ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Imam Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.

Guru pimpinan, tempat rujuk dalam semua hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk dapat berkat mesti bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib arahdi, sebab mentaati pemimpin adalah wajib. Di sinilah kebanyakan kesalahan pejuang sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah, tetapi bila ada masalah dalam jemaah dia rujuk pada 'ulama luar jemaah' atau dukun.

Jadi setiap orang yang ingin membaiki dirinya mesti ada mursyid yang akan memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim, hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa ? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya. Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, "Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan ? Saya boleh pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar kepada orang lain ?" Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.

Orang yang boleh memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang hatinya terbuka tidak banyak. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Imam Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena semua Imam mahzab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering menziarahi ahli-ahli sufi di ujung negeri Baghdad.

Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid.

8. Berdoa Kepada Allah

Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.

Dapat hidayah itu lebih mudah. Contohnya dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka kepada Islam. Tetapi belum tentu dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras dengan ilmu atau dengan apa yang dia mau. Praktikal dengan teorinya sama. Ilmiah dengan amaliahnya sama.

Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah, jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun diperintah. Dia tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah. Bila Allah beri hidayah dan taufiq semua masalah selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih lagilah jadi terlalu kecil.

Ilmu Islam seperti juga sebagaimana ilmu dunia juga. Tidak mesti kita belajar ilmu dan apabila diamalkan itu tepat sebagaimana belajar. Kebanyakannya tidak tepat walaupun sudah ada nasnya. Tepat yang lahir, batin pula yang tidak kena. Contohnya kita belajar ilmu shalat. Dari segi rukuk, sujud, tepat sebagaimana dalam kitabnya. Tapi yang batin, hati tidak sujud, hati pula yang tidak rukuk. Inilah yang dikatakan taufiq tidak ada sebaliknya hanya dapat hidayah saja.
Contoh yang lain, seorang yang belajar ilmu ekonomi yang selalu memikirkan soal untung dan rugi. Tetapi bila praktikal tidak selalu begitu. Sebab itu mandor lebih pakar dari enginer. Enginer tahu menyebut dari segi istilah saja sesuatu 'barang'. Tetapi seorang mandor istilahnya tidak tahu menyebutnya tapi dialah yang pakar mengoperasikannya.

Jadi teori dengan amal tidak selaras walaupun dari segi ilmunya sudah nampak tepat. Tetapi bila buat tidak tepat. Itulah yang menunjukkan selain Allah tidak memberi bekas. Oleh itu mesti selalu berdoa kepada Allah agar dikaruniakan hidayah dan taufiq. Bila Allah berikan hidayah dan taufiq, semua apa yang dibuatnya akan tepat.

Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang ditempuh oleh seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa. Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat ganjaran dari Allah dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang bertaqwa selagi itulah Allah tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan daripada Allah SWT.

Akibat Bercinta Sebelum Kahwin

Nafsu sungguh jahat, syaitan amat menipu
Di akhir zaman ini ramai orang berkahwin,
berkenal-kenalan dan bercinta-cinta lebih dahulu
Sebelum berkahwin, di waktu bercinta
semuanya indah-indah belaka
Tidak ada yang susah, tidak ada masalah
Semuanya baik walaupun jelek,
sekalipun menyusahkan, tapi indah
Di masa itu kentutnya pun wangi,
peluhnya pun harum mengalahkan atar
Tapi setelah berkahwin, tidak sampai setahun,
tiga bulan sahaja, yang dahulu bukan masalah
sekarang masalah
Dahulu yang busuk berbau harum,
sekarang yang harum berbau busuk
Sekalipun atar pilihannya yang dipakai
namun baunya menyakitkan
Dahulu yang diminta perkara susah bukan masalah,
sekarang yang mudah satu kewajipan pula
dianggap masalah
Dahulu cinta itu dirasakan sampai kesudah,
rupanya sebelum separuh jalan, punah
Dahulu yang jahat pun dianggap baik,
sekarang yang baik dianggap jahat
Betapalah yang jahat,
terasa berpuluh-puluh kali jahat dan menyusahkan
Perang mulut pun mula terjadi,
masing-masing menunjukkan sikap bermusuhan
Kadang-kadang tidur pun berasingan
atau tidur membelakang
Dahulu marahnya pun indah,
sekarang senyumnya pun pahit macam jadam
Masing-masing bawa diri,
izin-mengizin sudah tiada lagi
Makin bertemu perang menjadi-jadi,
makin berjumpa makin benci-membenci
Akibatnya apa sudah terjadi pada suami isteri ini?!
Kedua-duanya pergi jumpa tuk kadhi
minta cerai katanya jodoh sudah tidak ada lagi
Begitulah kesan cinta dahulu sebelum kahwin
Indahnya dan manisnya sudah habis
barulah diijabkabulkan

Minggu, 15 Juni 2008

SEMUA BERTASBIH

Semua Bertasbih

Karena tidak ada benda mati di alam semesta, maka kita menjadi paham ketika Allah mengatakan bahwa seluruh benda di seluruh penjuru jagad raya ini sedang bertasbih.

Bagaimana mungkin kita mengatakan semua benda itu mati, sementara Allah mengatakan dengan tegas bahwa benda-benda itu terus bertasbih mengagungkan Kebesaran Allah.

Sesuatu yang bisa bertasbih, pasti dia adalah makhluk hidup. Punya keinginan. Punya kehendak. Punya tujuan. Bisa beraktifitas.

QS. Al Hasyr (59) : 1 Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

Allah tidak membedakan makhluk satu dan yang lainnya. Semuanya disebut sedang bertasbih kepadaNya. Sabbaha lillahi maa fissamaawati wa maa fil ardhi. Semua yang di langit dan semua yang di bumi.

Dalam beberapa ayat lainnya Allah menyebut secara spesifik makhluk yang bertasbih itu. Di antaranya adalah halilintar dan guruh. Di ayat lainnya lagi, Allah menyebut gunung melakukan tasbih bersama nabi Daud.

QS. Ar Ra'd (13) : 13 Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya.

QS. Shaad (38) : 18 Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi,

QS. Al Anbiyaa (21) : 79 Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya

Dan yang lebih dahsyat lagi, bukan cuma benda-benda pengisi alam semesta saja yang bertasbih, melainkan langit yang tujuh dan bumi, semuanya bertasbih kepadaNya. Artinya, sama sekali tidak ada yang tidak bertasbih kepadaNya. Seluruh yang kita anggap benda mati itu sedang bertasbih. Sayang kita tidak mengerti apa yang mereka tasbihkan.

QS. Al Israa (17) : 44 Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

Memang, kita harus membangun kepahaman yang berbeda antara tasbihnya manusia, binatang tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Masing-masing bertasbih dengan caranya sendiri. Tidak selalu dengan mengucapkan subhanallah seperti kita. Namun demikian, mereka juga disebut bertasbih dan bersembahyang kepada Allah.

QS. An Nuur (24) : 41 Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Jadi burung mengembangkan sayap itu adalah salah satu bentuk dari sembahyang dan bertasbih, mengagungkan Allah. Guntur bergemuruh dan halilintar menyambar itu juga bentuk tasbih dan sembahyang mereka kepada Allah.

Maka kalau ini kita perluas ke seluruh benda-benda di sekitar kita, akan menjadi lebih tergambarkan. Angin yang berhembus itu ternyata sedang bertasbih dan sembahyang kepada Allah. Sinar matahari yang memancar menghidupi makhluk bumi juga sedang bertasbih dan sembahyang.

Lebah yang sedang beterbangan mencari nektar dari bunga ke bunga sedang bertasbih dan sembahyang. Pepohonan yang sedang bergoyang-goyang ditiup angin, memasak makanan di dedaunan, menghasilkan kuncup bunga dan buah-buahan, semuanya sedang bertasbih dan bersembahyang.

Seluruh aktifitas makhluk di sekitar kita sebenarnya adalah bentuk tasbih dan sembahyang. Mereka melakukan semua itu dengan keikhlasan dan ketaatannya. Tidak ada yang melawan. Tidak ada yang mengingkari. Semua berjalan dalam keseimbangan yang harmonis.

Planet-planet, bintang, matahari, galaksi, dan superkluster semuanya sedang bertasbih dengan cara melakukan gerakan-gerakan orbitalnya. Begitulah selama berjuta-juta tahun. Bahkan miliaran tahun. Yang lalu, maupun yang akan datang. Dengan presisi dan akurasi yang tiada cela...

Kecuali manusia dan jin. Dua jenis makhluk ini diberi 'kebebasan' oleh Allah untuk bertasbih atau tidak. Selebihnya, makhluk lain melakukan tasbih dan sembahyang dengan ketaatan yang sempurna.

Maka, makna tasbih yang sebenarnya adalah ketaatan dan keikhlasan menjalankan kodrat dan fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah yang Maha Agung dan Maha Perkasa. Kesadaran bahwa kita adalah makhluk, dan Dialah sang Pencipta, Raja yang Maha Bijaksana.

QS. Al Hadiid (57) : 1 Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Ash Shaaf (61) : 1 Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Al Jumu'ah (62) : 1 Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. At Taghabun (64) : 1 Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang di langit dan apa yang di bumi; hanya Allahlah yang mempunyai semua kerajaan dan semua puji-pujian; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Namun, khusus manusia, kita memiliki pilihan untuk bertasbih atau tidak. Kuncinya berada di dalam kesadaran. Seluruh penjuru badan kita sebenarnya telah bertasbih. Jantung bertasbih. Paru-paru bertasbih. Aliran darah bertasbih. Kulit, rambut, tulang, kuku, dan seluruh bagian tubuh terus bertasbih.

Tapi, jiwa kita belum tentu bertasbih. Karena Allah memberikan kebebasan berkehendak ke dalam jiwa manusia.

QS. An Nahl (16) : 4 Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.

QS. Al Kahfi (18) : 54 Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.

Coba cermati ayat di atas, bahwa manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. Artinya makhluk selain manusia, lebih taat dalam menjalankan perintah Allah. Dengan mudahnya mereka bisa memahami Kebesaran Allah, dan kemudian bertasbih sepanjang waktu.

Ketaatan dan keikhlasan menjadi kunci kesempurnaan tasbih. Nabi Daud yang digambarkan sebagai nabi yang memiliki kelebihan dan kekuatan adalah nabi yang sangat taat kepada Allah. Sehingga ia bisa melakukan tasbih bersama-sama dengan alam sekitarnya secara harmonic. Gunung-gunung dan burung pun bertasbih bersamanya.

QS. Shaad (38) : 17 Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat.

Tapi ketaatan memang tidak bisa muncul dengan sendirinya. Ketaatan sangat terkait dengan keikhlasan. Sementara itu, keikhlasan tergantung kepada kepahaman. Dan, kepahaman erat hubungannya dengan keilmuan. Maka, nabi Daud pun digambarkan sebagai nabi yang berilmu tinggi, sehingga beliau memiliki ketaatan dan keikhlasan yang tinggi pula.

Sebaliknya, orang yang tidak berilmu pengetahuan digambarkan sebagai gampang dipengaruhi oleh setan. Mudah disesatkan. Asal membantah, tapi tidak jelas alasannya. Orang yang begini sulit untuk taat dan ikhlas. Malah sebaliknya, membantah dan asal melawan. Dengan kata lain, ia kafir alias menentang.

QS. Al Hajj (22) : 3 Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang sangat jahat,

QS. Al Hajj (22) : 8 Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya

QS. Al A'raaf (7) : 202 Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya.

QS. Al A'raaf (7) : 45 orang-orang yang menghalang-halangi dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat.

QS. Al Baqarah (2) : 6 Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.

QS. Ali lmran (3) : 89 kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

KEMAKSIATAN SUMBER BENCANA

Kemaksiatan Sumber Bencana, Ketaatan Sumber Nikmat

Seperti yang Allah perlihatkan kepada kita dari tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta dan didalam diri kita sendiri, dan dari apa yang Dia tegaskan dalam kitab-Nya, bahwa sesungguhnya kemaksiatan itu sumber musibah (bencana). Musibah dan balasan buruk berasal dari amal yang buruk. Sedangkan taat, sumber nikmat. Maka amal ihsan seseorang akan membuahkan ihsan. Allah berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (QS. 42:30)

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri...” (QS. 4:79)

“Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka...” (QS. 3:155)

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". (QS. 3:165)

“Atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian besar dari (mereka)”. (QS. 42:34)

“...Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat)”. (QS. 42:48)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengajak mereka, sedang kamu berada diantara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengajak mereka, sedang mereka meminta ampun". (QS. 8:33)

Allah telah memberitahukan siksa yang telah ditimpakan kepada umat-umat-Nya yang berbuat dzalim, seperti umat Nabi Nuh, kaum Ad, Tsamud, kaum Nabi Luth, penduduk Madyan dan pengikut Fir’aun, didunia, dan juga Allah memberitahukan siksa-Nya yang akan ditimpakan kepada mereka di akhirat.

Diceritakan dalam al-Qur’an, seorang yang beriman dari pengikut Fir’aun berkata, “Dan orang yang beriman itu berkata:"Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu, (Yakni) seperti keadaan kaum Nuh, 'Aad, Tsamud dan orang-orang yang datang sesudah mereka.Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya. Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan siksaan hari panggil-memanggil, (yaitu) hari (ketika) kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak ada bagimu seorangpun yang menyelamatkan kamu dari (azab) Allah, dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorangpun yang akan memberi petunjuk”. (QS. 40: 30-33)

“Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui”. (QS. 68:33)

“...Nanti mereka akan kami siksa dua kali kemudian mereka akan di kembalikan kepada azab yang besar”. (QS. 9:101)

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. 32:21)

Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. Yang meliputi manusia.Inilah azab yang pedih, (Mereka berdo'a):"Ya Tuhan kami, lenyapkanlah dari kami azab itu.Sesungguhnya kami akan beriman. Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah seorang yangmenerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila. Sesungguhnya (kalau) Kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar). (Ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya Kami adalah Pemberi balasan”. (QS. 44: 10-16)

Dari kebanyakan surat-surat yang mengandung peringatan, Allah menyebutkan siksa yang ditimpakan-Nya kepada orang-orang yang berbuat kejahatan didunia, maupun siksa-Nya diakhirat kelak. Terkadang Dia menyebutkan balasan diakhirat saja, karena siksa diakhirat maha dahsyat, juga pahalanya amat besar, dan akhirat itu alam kekal. Dan tak jarang Dia hanya menyebutkan pahala dan siksa sebagai iringan.

Contohnya, seperti firman Allah tentang kisah Nabi Yusuf as., “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir iti. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala diakhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa”. (QS. 12: 56-57)

“Karena itu Allah memberikan pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. 3:148)

“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia.Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal”. (QS. 16: 41-42)

Firman Allah lagi tentang Nabi Ibrahim as., “Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Ya'kub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya, dan Kanmi berikan padanya balasan di dunia, dan sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh”. (QS. 29:27)

Keterangan Allah tentang siksa didunia dan akhirat terdapat dalam surat An-Nazi’at, firman-Nya, “Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut.” (QS. 79: 1-2)

Kemudian Allah berfirman, “(Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan alam, tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua”. (QS. 79: 6-7)

Lantas Dia menyebutkan hari kiamat dengan firman-Nya, “Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa, Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah lembah Thuwa; Pergilah kamu kepada Fir'aun, susungguhnya dia telah melampaui batas, (QS. 79: 15-17)

Hingga kepada firman-Nya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya)”. (QS. 79:26)

Selanjutnya Allah menjelaskan dengan terinci permulaan penciptaan (kehidupan) dan tempat kembali (akhir kehidupan dunia) dengan firman-Nya, “Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit Allah telah membangunnya”, (QS. 79:27)

Sampai kepada firman-Nya, “Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (QS. 79: 34-39)

Demikian juga dalam surat Al-Muzzamil (73) Allah berfirman, “Dan biarkanlah Aku (saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar. Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala, Dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih”. (QS. 73: 11-13)

Hingga kepada firman-Nya, “sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa dia dengan siksaan yang berat”. (QS. 73: 15-16)

Dalam surat Al-Haqqah (69) Allah berfirman sebagai berikut:

“Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah. Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hri itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka. Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata:"Ambillah, bacalah kitabku (ini)". Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi, Buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan):"Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal ang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu". Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya dari sebelah kirinya, maka dia berkata:"Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu, Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku". (Allah berfirman):"Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya". Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini. Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa”. (QS. 69: 13-37)

“Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui”. (QS. 68:33)

“Apakah belum datang kepadamu (hai orang-orang kafir) berita orang-orang kafir dahulu Maka mereka telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan mereka dan mereka memperoleh azab yang pedih. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka (membawa) keterangan-keterangan lalu mereka berkata:"Apakah manusia yang akan memberi petunjuk kepada kami" lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah:"Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. 64: 5-7)

Dan banyak lagi ayat yang menceritakan keadaan orang yang mengingkari para Rasul dan ayat yang senada dengannya.[]

PENYAKIT ORANG MODERN

AL WAHN : CINTA DUNIA TAKUT MATI

Oleh : Akhmad Asikin,S.Ag


Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud No. 3745)

Zaman terus bergulir menghampiri penghabisannya. Hadits-hadits nabi tentang datangnya akhir dari alam semesta semakin terpenuhi. Kita telah melihat bahwa ummat ini semakin mengikuti tingkah laku yahudi dan nashara.

Bukan hanya di mal-mal, bahkan di pasar-pasar tradisional, kita dapat melihat betapa ummat ini telah melangkah meninggalkan millah Islam dan terus saja mengikuti jejak yahudi dan nashara, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga ke lubang biawak pun mereka ikuti.

Ummat telah banyak yang melupakan Allah. Mereka terjebak dalam kenikmatan duniawi yang sementara. Mereka berbuat semaunya seolah surga dan neraka itu tak ada. Telah banyak diantara kita yang meninggalkan shalat fardhu sebagai tanda tak rindunya kita dengan Allah. Kalau pun kita shalat, kita shalat tanpa tahu ilmunya dengan baik dan benar. Kalau pun tahu ilmunya, hati dan fikirannya belum bisa benar dalam mendirikan sholat. Tetapi yang sangat perlu diperhatikan adalah mereka yang telah meninggalkan shalat fardhu. Apakah mereka tidak rindu untuk berjumpa dengan Allah?

Dari meninggalkan shalat itulah, ummat menjadi insan-insan yang mudah terjatuh kepada perbuatan keji dan mungkar. Narkoba dan minuman keras yang dulunya hanya diminum oleh orang-orang kafir, sekarang juga telah diminum oleh muslimin dengan penuh kebanggaan. Pembukaan aurat yang dulunya hanya dilakukan wanita-wanita kafir, kini juga dilakukan oleh muslimah dari yang muda hingga yang tua. Bahkan perzinahan di kalangan remaja pun menjangkiti para remaja muslim. Jika tahun baru dan valentine day tiba, hampir-hampir di muka bumi ini tidak tersisa lagi dari golongan Muhammad Rasulullah, kecuali sebagian kecil remaja yang meramaikan Masjid-Masjid dengan lafazh ‘Ya Allahu ya Allah’ untuk meredam musibah yang mungkin timbul akibat perbuatan sebagian besar ummat manusia yang terlena dalam kenikmatan duniawi di malam-malam tersebut.

Sebagian ummat Islam telah terjangkit dengan penyakit ‘hubbud dunya’, terlalu mencintai kehidupan duniawi. Mereka begitu bernafsu terhadap kehidupan dunia ini sehingga mereka lupa akan kematian, dan mereka tidak mau mengingat kematian, serta sangat takut terhadap mati. Mereka takut mati, selain karena amal mereka, juga lebih-lebih dikarenakan mereka tidak mau meninggalkan dunia yang sangat mereka cintai ini. Mereka mencintai dunia ini hingga malas beramal yang mendekatkan diri mereka kepada Allah. Mereka mencintai dunia ini hingga melupakan Allah, tidak merindukan-Nya, tidak pula mengharapkan pertemuan dengan-Nya. Kasihan, walau mereka sangat mencintai dunia ini, tetapi tetap saja, mereka pasti menemui kematian.

Jika mereka memang rindu untuk berjumpa dengan Allah, tentu mereka beramal shalih dengan penuh keikhlasan dengan mengharapkan keridhoan dari Allah. Tentu mereka berusaha untuk menyenangkan Allah dan melayani-Nya sebagaimana mestinya seorang hamba. Tetapi kebanyakan kita telah menjadi hamba dari nafsu kita sendiri dan terus melayani nafsu sebagai tuannya. Dan nafsunya begitu cinta terhadap kehidupan duniawi.

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110)

Inilah potret generasi kita, dimana ummat semakin terjangkit penyakit Al-Wahn, yaitu cinta dunia dan takut mati.

Ingat hadits Nabi berbunyi :