GURU PROFESIONAL SEPERTI APA?
Guru merupakan profesi pendidik yang memiliki beberapa tugas utama, yaitu mendidik, membina, mengajar, melatih, membimbing, menilai, mengarahkan, dan membentuk watak serta kepribadian peserta didik, sehingga berubah menjadi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan menjadi manusia yang cerdas serta bermartabat.
Profesionalisme merupakan sikap mental yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan diri, sebagai seorang yang bertanggung jawab pada profesinya. Menurut H. Mohamad Surya, kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja sebagai berikut;
Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal.
Meningkatkan dan memelihara citra profesi.
Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya.
Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi.
Memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode, intelektual, rasa tanggung jawab, pribadi, sosial, spiritual, dan kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. Guru profesional tidak dapat diukur dengan lamanya masa kerja, karena tidak selalu menjadi jaminan bahwa seorang guru profesional.
Sebagai guru profesional, akan sangat senang dan bangga, jika pagi hari bisa menyambut kedatangan anak-anak didiknya dengan senyum bahagia. Guru profesional senantiasa tidak membawa masalah dari rumah ke sekolah, beliau akan menyimpan masalah tersebut di depan gerbang sekolah untuk kemudian mengambilnya kembali pada saat pulang, itu pun kalau masih mau. Tapi, kebanyakan tidak akan mengambil masalah tersebut, karena sudah terhibur dengan anak-anak didik yang menjadi dunia dalam kehidupannya.
Undang-Undang guru dan dosen menyatakan, kedudukan guru merupakan jabatan profesional yang dibuktikan dengan sertifikasi sebagai wujud pengakuan akan kualifikasi dan kompetensi. Undang-Undang tersebut memberikan syarat guru harus memiliki kualifikasi minimal S-1 atau diploma IV dan memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Dalam undang-undang guru dan dosen pasal 7, prinsip profesional mencakup karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas, (4) memiliki ikatan kesejawatan dan kode etik profesi (5) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja, (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan, (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan keprofesionalan.
Guru profesional ialah guru yang memiliki kompetensi, yang diartikan sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Guru profesional diwujudkan melalui sertifikasi yang ditempuh di antaranya dengan portofolio.
Menurut Dr. Dasim, cara berpikir yang dianut dalam sertifikasi guru adalah bahwa portofolio yang berisi notabene rekam jejak kinerja guru, merupakan gerbang pertama untuk memilih dan memilah, mana guru yang telah memiliki kualifikasi dan kompetensi standar dan mana yang belum. Sebagai tim asesor, Dr. Dasim mengemukakan, masa kerja yang identik dengan usia guru bukan satu-satunya komponen penilaian. Masih ada sembilan komponen lain yang perlu dinilai kelayakannya, sehingga tidak perlu heran jika seorang guru yang sudah "berusia" tidak lulus dalam penilaian portofolio, karena tidak meninggalkan jejak yang cukup untuk membuktikan bahwa dirinya memiliki kompetensi yang standar.
Mudah-mudahan sertifikasi guru dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai ketidaksempurnaan, tetapi kita sebagai pendidik sebaiknya melayani peserta didik dengan kesempurnaan profesi.
Penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum merupakan bentuk penjabaran dari amanat Undang-Undang nomor 2 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Hal ini secara jelas dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional seperti tersebut di atas perlu wahana dan proses yang memungkinkan peserta didik memiliki iman, takwa, dan akhlak mulia.
Wahana pembentukan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia perlu dilakukan melalui pendidikan agama Islam di sekolah. Proses ini berlangsung secara terus menerus dari mulai pendidikan usia dini (PAUD) sampai pendidikan tinggi.
Sebagai penjabaran dari tujuan pendidikan nasional, pemerintah melalui peraturan menteri pendidikan nasional nomor 23 tahun 2006 tentang standar isi, menyatakan bahwa pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan : Pertama, menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin ibadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan, secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Secara formal, peraturan perundang-undangan yang ada sudah memadai untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia, namun dalam pelaksanaannya masih menuai kritik dari masyarakat yaitu bahwa pendidikan agama Islam di sekolah selama ini dinilai hanya membekali peserta didik ilmu pengetahuan agama saja (kognitif) kurang memberikan penekanan pada aspek pengamalan (afektif dan psikomototik).
Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia bukanlah tugas yang ringan dan sederhana. Karena itu merupakan tugas bersama antara pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah melalui pembelajaran di kelas dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran setiap minggunya tidaklah cukup untuk membekali siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lain yang dilakukan secara terus menerus dan tersistem. Sehingga pengamalan nilai-nilai pendidikan agama menjadi budaya dalam komunitas sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian tujuan pendidikan agama Islam seperti yang diamanahkan oleh pemerintah dapat dicapai dengan baik.
Selain itu, tidaklah adil apabila pendidikan agam Islam hanya menjadi tugas dan tanggung jawab guru pendidikan agama Islam saja, tanpa didukung oleh pihak-pihak yang terkait di lingkungan sekolah. Oleh sebab itu, pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah merupakan tanggung jawab bersama yakni kepala sekolah, guru agama Islam, guru mata pelajaran umum, karyawan, komite sekolah, siswa, dan pihak-pihak lain yang terkait.
Dengan alasan-alasan seperti tersebut di atas, maka pengembangan dan pengamalan budaya agama Islam dalam komunitas sekolah sangat penting untuk diimplementasikan.
***
Religious culture dalam konteks ini berarti pembudayaan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan di sekolah dan di masyarakat, yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama Islam yang diperoleh siswa dari hasil pembelajaran di sekolah, agar menjadi bagian yang menyatu dalam perilaku siswa sehari-hari dalam lingkungan sekolah atau masyarakat. Bentuk kegiatan pengamalan budaya agama Islam di sekolah, di antaranya adalah; membiasakan salam, membiasakan berdoa, membaca al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai, membiasakan kultum, membiasakan shalat dhuha, shalat dhuhur berjamaah, dzikir setelah shalat, menyelenggarakan PHBI, menyantuni anak yatim, acara halal bi halal, dan sebagainya.
Sasaran pengamalan budaya agama Islam (religious culture) adalah siswa dan seluruh komunitas sekolah meliputi kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, dan komite sekolah. Dalam pelaksanaannya program pengamalan budaya agama Islam di sekolah di bawah tanggung jawab kepala sekolah yang secara teknis dibantu oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan guru pendidikan agama Islam. Sedangkan pelaksanaannya adalah semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa).
Pelaksanaan pengamalan budaya agama Islam di sekolah tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa dukungan dan komitmen dari segenap pihak, di antaranya adalah pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama atau Pemerintah Daerah, kebijakan kepala sekolah, guru pendidikan agama Islam, guru mata pelajaran umum, pegawai sekolah, komite sekolah, dukungan siswa (OSIS), lembaga dan ormas, keagaman serta partisipasi masyarakat luas. Jika semua elemen ini dapat bersama-sama mendukung dan terlibat dalam pelaksanaan pengamalan budaya agama di sekolah maka bukan suatu yang mustahil hal ini akan terwujud dan sukses.
Sebagai upaya sistematis menjalankan pengamalan budaya agama Islam di sekolah perlu dilengkapi dengan sarana pendukung bagi pelaksanaan pengamalan budaya agama Islam di sekolah, di antaranya; musholla atau masjid, sarana pendukung ibadah (seperti: tempat wudhu, kamar mandi, mukena, mimbar, dsb), alat peraga praktek ibadah, perpustakaan yang memadai, aula atau ruang pertemuan, ruang kelas belajar yang nyaman dan memadai, alat dan peralatan seni Islam, ruang multimedia, lab komputer, internet serta laboratorium PAI.***
PROFESIONALISME GURU SEBAGAI SEBUAH KEBUTUHAN
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan baru-baru ini, berdasarkan tes yang telah dilakukan oleh Trends In International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) tahun 2003, menunjukkan bahwa para siswa SLTP kelas dua kita, menempati posisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang masing-masing menempati urutan pertama dan ke sepuluh, pada penilaian kemampuan anak didik di bidang matematika.
Hal yang tidak jauh berbeda, terjadi pula pada nilai penguasaan atas ilmu pengetahuan. Tes yang diselenggarakan dibawah payung organisasi Association for Evaluation of Educational Achievment International (AAEI) ini, kembali menempatkan para siswa Indonesia pada urutan ke 36, dibawah Mesir dan Palestina yang berada satu peringkat diatasnya. Sedangkan Negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, masih menempati nomor pertama dan ke dua puluh dari 50 negara yang ditelaah.
Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang baru-baru ini dipublikasikan, dimana berdasarkan laporan, Human Development Report 2004”, tersebut dinyatakan bahwa angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia mencapai 12,1%. Ini berarti, dari setiap 100 orang Indonesia dewasa yang berusia 15 tahun ke atas, ada 12 orang yang tidak bisa membaca. Angka ini relatif jauh lebih tinggi, apabila kita bandingkan dengan negera-negara lain, seperti Thailand (7,4%), Brunai Darussalam (6,1%) dan Jepang (0,0%).
Pada tahun yang sama (2004), UNDP juga telah mengeluarkan laporannya tentang kondisi HDI (Human Development Indeks)** di Indonesia. Dalam laporan tersebut, HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga kita, seperti Malaysia yang menempati urutan ke-59, Thailand yang menempati urutan ke 76 dan Philipina yang menempati urutan ke-83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Sebuah negara yang baru saja keluar dari konflik politik yang besar dan baru memulai untuk berbenah diri namun sudah memperlihatkan hasilnya karena membangun dengan tekad dan kesungguhan hati.
Fenomena diatas telah memberi gambaran secara sekilas kepada kita, tentang kondisi dunia pendidikan saat ini di tanah air, dimana kualitas pendidikan di negera kita memang masih jauh dari yang kita harapkan. Perlu sebuah upaya kerja keras tanpa henti dengan melibatkan seluruh stakeholders, agar dunia pendidikan kita benar-benar bangkit dari keterpurukan untuk mengejar ketertinggalannya sehingga mampu berkompetisi secara terhormat dalam era globalisasi yang semakin menguat. Oleh sebab itu reformasi pendidikan, dimana salah satunya issu utamanya adalah peningkatan profesionalisme guru merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam mencapai pendidikan yang lebih berkualitas.
Fenomena dunia pendidikan kita saat ini
Setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan kita saat ini, yaitu : issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana belajar mengajar.
Issu seputar masalah guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
Masalah kualitas guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan
data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 8,3%nya yang
berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
Masalah distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
Masalah kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.
b. Kebijakan pemerintah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks ini, beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini. Lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita. Sudah barang tentu, UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6%. Tahun 2005, jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29% dan tahun ini, rencananya akan dialokasikan 12,01%, 14,60% untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan menjadi 17,40% dan 20,10%.
c. Manajemen sekolah
Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikiit banyak akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung akan mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit yang biasanya memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban tersendiri bagi ekonomi keluarga.
Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang cenderung membedakan berbabagai bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta, secara langsung maupun tidak telah ikut memperparah ketimpangan dunia pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara maupun sekolah yang di kelola oleh pihak swasta.
d. Saran dan prasarana sekolah
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupak beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi. Di profinsi Jawa TImur saja, saat ini tercatat 5.373 sekolah dan 20.736 ruang kelas yang harus diperbaiki. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.065 diantaranya adalah SD/MI berjumlah 175, SMP/MTs berjumlah 53 SMA/MA dan SMK berjumlah 80 buah (Kompas, 14 Januari 2006).
Profesionalisme guru sebagai sebuah tuntutan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :
1. Sertifikasi sebagai sebuah sarana
Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan.
Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.
2. Perlunya perubahan paradigma
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
3. Jenjang karir yang jelas
Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.
4.Peningkatan kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. (Angelina Sondakh)
KESIMPULAN
Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat dewasa ini, dimana persaingan yang semakin kuat dan proses transfaransi disegala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan anak-anak penerus bangsa, memliki peran dan fungsi yang akan semakin signifikan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penangan lebih serius. Profesinalisme guru adalah sebuah paradigma yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
Dalam konteks pemberdayaan guru menuju sebuah profesi yang berkualitas diamana secara empiris dapat dipertanggung jawabkan, memerlukan keterlibatan banyak pihak dan stakeholders, termasuk pemerintah sebagai penyelengara Negara. Diperlukan sebuah kondisi yang dapat memicu dan memacu para guru agar dapat bersikap, berbuat serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan bidang ke-ilmuannya masing-masing. Kondisi tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal lebih mengarah pada guru itu sendiri, baik secara individual maupun secara institusi sebagai sebuah entitas profesi yang menuntut adanya kesadaran, dan tanggung jawab yang lebih kuat dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Diperlukan sebuah komitmen yang dapat dapat dipertanggung jawabkan, baik secara ilmiah maupun moral, agar guru dapat benar-benar berpikir dan bertindak secara professional sebagaimana profesi-profesi lain yang menuntut adanya suatu keahlian yang lebih spesifik.
Faktor ekternal dalam konteks ini, lebih terkait pada bagaiamana kebijakan pemerintah dalam menodorong dan menciptakan kebijakan maupun atmosfir yang dapat merangsang dan melahirkan guru-guru yang profesional. Hal yang paling mendasar berkaitan dengan masalah ini adalah issu kesejahteraan bagi para guru, agar mereka dapat benar-benar fokus pada peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik.
Itikad baik harus selalu didukung. Syaratnya tentu direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, serius, tulus dan profesional.
Terdapat hampir separo dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat kabar nasional. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan ini disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional, guru yang kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebagai contoh, kasus yang dikemukakan pakar Administrasi Pendidikan UPI Bandung Prof Nanang Fatah, yaitu pada uji kompetensi Matematika. Dari 40 pertanyaan, rata-rata hanya dua pertanyaan yang dijawab dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Penggambaran keadaan itu merupakan fakta yang bukan sepenuhnya merupakan kesalahan guru sebagai individu. Karena, rasanya kurang adil dan tidak bijak kita terus menuding permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini dominan disebabkan oleh guru. Kualitas pendidikan ditentukan oleh sebuah sistem yang didukung banyak bagian dari kebijakan yang cerdas dan berpihak pada rakyat, juga implementasi pendidikan yang memenuhi kualifikasi dan prasyarat yang memadai. Tentu saja Depdiknas sebagai institusi pemerintah yang diberi amanat oleh rakyat untuk mengurus pendidikan dalam sebuah sistem kurang dapat melaksanakan dengan baik, kurang amanah.
Program peningkatan kualitas dan profesionalisme guru memang diperlukan, apa pun namanya. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa negara dalam rangka peningkatan kompetensi guru. Di Amerika Serikat, dimulai dengan munculnya reformasi pendidikan yang diinisiasi oleh keberadaan laporan federal yang berjudul A Nation at Risk pada 1983. Laporan ini lantas melahirkan laporan penting berjudul A Nation Prepared: Teachers for 21st Century. Dalam laporan tersebut, direkomendasikan adanya pembentukan National Board for Professional Teaching Standards, dewan nasional standar peng cajaran profesional di Amerika Serikat pada 1987. Demikian juga di Jepang, UU Guru ada sejak 1974 dan UU Sertifikasi pada 1949. Sementara di Cina, UU Guru hadir pada 1993 dan PP Kualifikasi Guru pada 2001.
Jika program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari total pengeluaran untuk gaji pada 2005.
Angka yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan. Peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi guru, bukan jaminan kinerja guru akan menjadi lebih baik. Pada masa penjajahan, dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah, guru dipandang lebih berhasil melahirkan lulusan yang bermutu.
Meski tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas.
Profesionalisme guru bukan barang sekali jadi, bim salabim. Hambatan menjadi guru profesional sangat banyak. Hubungan antarsesama guru dan kepala sekolah lebih banyak bersifat birokratis dan administratif, sehingga tidak mendorong terbangunnya suasana dan budaya profesional akademik di kalangan guru. Guru pun kian terjebak jauh dari prinsip profesionalitas. Jauh dari buku, kebiasaan diskusi, menulis, apalagi riset. Oleh karena itu, pembenahan dan peningkatan mutu guru harus berlaku sepanjang karirnya.
Pekerjaan rumah yang tak kalah besar ialah mendidik calon guru demi menciptakan generasi guru baru yang intelek, transformatif dan profesional. Bukan sekadar tukang dan operator. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Mau tidak mau, perlu dikaji terlebih dahulu lembaga yang selama ini menghasilkan tenaga guru.
Tidak ada salahnya, lembaga pendidikan yang melahirkan tenaga guru belajar dari Fakultas Kedokteran yang mencetak tenaga dokter. Sebuah proses pembelajaran yang ajeg dan meyakinkan, semua pihak percaya dan yakin pada profesionalisme dokter (meski akhir-akhir ini banyak kasus tentang mal praktik). Setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan dokter, ia berhak atas gelar akademis sarjana kedokteran atau dahulu disebut dokter muda. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti kegiatan profesi dokter (ko-asistensi) di rumah sakit yang ditentukan, minimal dua tahun. Di sinilah kawah candradimuka untuk menjadi seorang dokter. Merupakan medan nyata (emphirical field) kerja dokter setelah proses teoritis selama manjalani pendidikan kedokteran. Setelah dinyatakan lulus ujian profesi dokter, barulah ia berhak disebut dokter (dr).
Pemeliharaan profesi dokter pun didukung oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mewajibkan dokter untuk mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di daerah yang ditentukan, atau dapat diganti dengan kompensasi tertentu yang dianggap tidak mengurangi nilai pengabdian dan profesionalisme. Demikian juga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) atau asosiasi profesi guru apa pun namanya, harus dapat berjuang untuk memelihara profesi guru.
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.
Harus disadari, kondisi guru seperti yang tecermin saat ini, merupakan keprihatinan bersama. Kondisi ini yang harus dihadapi, bukan menjadi ajang untuk menyangkal atau malah menyalahkan pihak tertentu. Dari itu semua, yang paling berkepentingan adalah pribadi guru sendiri. Namun, itu jangan sampai untuk mematahkan semangat rekan guru yang masih ingin menghidupi keguruannya. Semoga!