Minggu, 16 Maret 2008

IKLAS mUDAH DIUCAPAKN SUSAH DIJALANKAN

Ikhlas, satu kata yang gampang diucap tapi susah dipraktekkan. Padahal ini menjadi salah satu syarat penting diterimanya satu amalan. Karena amal yang yang diterima oleh Gusti Allah itu, selain harus ada contohnya dalam agama, harus dilandasi rasa ikhlas ini. Lha ini yang susah.

Amalan yang ikhlas adalah amalan yang ditujukan hanya untuk mencari ridho dan rahmat Allah. Tidak ada tujuan lain kecuali itu saja. Jadi amalan ikhlas itu sebenarnya bertendensi juga, yakni mencari ridho dan rahmat Allah. Ada orang yang berpendapat, bahwa jika kita beramal agar kita masup surga maka amalan kita itu gak ikhlas. Soalnya masih ada embel-embel selain Allah, dan masih ada keniatan buat makhluk, yakni surga. Hmmm, apa betul begitu ya?

Ada juga yang mengatakan, bahwa jika kita beramal soleh dan menjauhi maksiat karena takut masup neraka, maka itupun gak ikhlas. Karena ada ketakutan kepada selain Allah, ketakutan pada makhluk, yakni neraka. Weh… rodo abot ki. Hare gene kok postingane abot... :-?

Seyogyanya sebelum mengatakan ikhlas dan gak ikhlas kita merujuk kepada apa Firman Allah mengenai hal ini. Pertama di satu hadits Qudsi yang shahih, riwayat Imam Muslim. Di hadits Qudsi itu Allah berfirman kepada surga : “Adapun engkau wahai Surga, merupakan tempat Rahmat-Ku. Aku merahmati denganmu pada siapa saja yang Aku Kehendaki…” (Riyadhus Shalihin, Bab Keutamaan Kaum Rendah dan Orang Fakir dari Kaum Muslimin).

Di hadits itu Allah menyatakan bahwa surga adalah bentuk dari Rahmat-Nya. Bahkan di hadits lain Nabi saw menegaskan, bahwa seseorang itu masuk surga itu dikarenakan Rahmat Allah. Maka meskipun surga itu makhluk, itu merupakan bentuk Rahmat-Nya. Sehingga apabila seseorang beramal dengan berharap masuk surga dengan amalnya itu, sebenarnya tidak mengurangi kadar ikhlasnya. Karena amalan yang ikhlas itu sendiri adalah amalan yang ditujukan untuk mencari dan berharap Ridho dan rahmat Allah.

Coba perhatikan ayat ini : “Berlombalah (bersegeralah) kepada ampunan dari Tuhan kalian dan (bersegeralah) kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi…” (S. Al Hadid ayat 21). Ha wong kita ini disuruh berlomba dan bersegera menggapai surga. Dan ini perintah Allah. Tentunya menggapainya dengan amal, bukan dengan ngowoh, ngeces, ngorok sehari penuh. Maka beramal dengan berharap masup surga itu tetap masih dalam koridor ikhlas, yakni menggapai ridho Allah dan Rahmat-Nya yang diwujudkan dengan Surga.

Adapun takut kepada neraka itu tertuang didalam surat Al Baqoroh ayat 24 : “Maka jika kalian tak memperbuatnya, dan kalian tidak akan bisa memperbuatnya (yakni membuat ayat/surat tandingan Al Qur’an) maka takutlah kalian kepada Neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, disediakan bagi orang yang kafir.”

Takut neraka adalah perintah Allah pada ayat itu. Maka takut kepada neraka tidaklah mengurangi kadar ikhlas satu amalan. Karena takut kepada neraka adalah satu perintah. Ha wong gak usah diperintah takut saja, kalo sudah meruhi sendiri, nanti lak pating jondhil. Girap-girap gak karuan…

Yang susah itu adalah menjaga agar amalan kita tak bertujuan kepada makhluk. Riya’ (pamer), sum’ah (suka kemasyhuran), umuk, ujub (mengherani diri sendiri) hasad, dlsb… merupakan penyakit hati yang bisa merusak amal. Kadang-kadang setelah kita beramal, kita merusaknya secara gak sadar dengan ucapan-ucapan kita. Contohnya begini:

  1. Seorang ibu-ibu tanya pada seorang ustadz di satu pengajian yang dihadiri ratusan peserta : “Tadz mau nanya, tadi malam pas saya sholat tahajud, ha kok ada kecoa liwat. Saya digremeti sampai kegelian. Tapi saya tetap coba tenang. Namun tetep agak terganggu… saya khawatir sholat saya gak diterima Allah, Gimana ini ustadz? “ Pertanyaan biasa, tapi berpotensi menjadi ajang umuk tentang sholat tahajudnya, tentang ketegarannya ngadepi gremetan kecoa dan tentang kelembutan hatinya yang kawatir amalnya gak diterima. Kita gak bisa langsung menghukumi, tapi simbah bilang ini berpotensi umuk dan pamer amal.
  2. Pas sedang adem-ademnya liburan bareng di puncak, satu rombongan orang sedang membicarakan dahsyatnya hawa dingin disitu. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Wah ini semua gak seberapa. Waktu saya wudhu di dekat Ka’bah pas haji kemaren, gigi saya hampir kemrutuk saking dinginnya. Tapi saya tahan. Nah jamaah yang lain itu pada ndrodog kedinginan…” Ungkapan ini biasa juga, namun berpotensi umuk, nunjukin bahwa dia sudah munggah kaji dan kuat ngadepi dingin.
  3. Seorang mubaligh sedang menerangkan pada peserta pengajian, tentang bab tawadhu, dia bercerita, “Saat saya dipanggil bapak presiden ke istana kemarin, saya gak nyangka, saya yang dhoif ini diundang oleh beliau. Bahkan pada kesempatan itu saya diberi waktu untuk memberi tausiyah…” Sebenarnya ingin bercerita tentang tawadhu’, namun dia mencontohkan dirinya. Ini justru berpotensi umuk dan ujub. Kalo salah niat, bisa dipakai buat naikkan tarip amplopnya. Ha wong pernah ngisi pengajian di istana presiden je… mosok taripnya biasa, kudu punjul..

Lha, riya’ itu memang musuhnya ikhlas. Padahal riya’ itu syirik kecil. Makanya kita gak pernah tahu, amalan mana dari yang sudah kita amalkan itu yang diterima dan diganjar oleh Allah. Sudah berapa banyak ganjaran dan pahala kita dengan amalan kita… semua gak tahu.

Tidak ada komentar: