Namun karena dahsyatnya gerakan-gerakan bumi itu, yang sebenarnya sekadar menunjukkan bahwa bumi juga hidup dan aktif bertasbih kepada Allah, kerap kita rasakan sebagai bencana alam. Ada keruntuhan, ada letusan, ada gempa, ada banjir, ada longsor dan ada gelombang. Bahkan sering dari peristiwa itu muncul pula banyak kematian. Tsunami di Aceh dan gempa di Yogya adalah dua contoh memilukan dari gerak kehidupan bumi dan kita menyebutnya sebagai bencana. Jarak kehidupan dan kematian begitu dekat di bumi ini. Kita yang hidup di permukaannya bagaikan berselancar dan menari di atas kematian.
Tsunami di Aceh menyemburatkan kehancuran 141.000 rumah dan bangunan, kematian 131.934 jiwa yang jenazah mereka dikubur massal, hilangnya 37.066 orang yang terseret arus bah ke dasar lautan Hindia, yang saking dalamnya bahkan cahaya matahari pun tak mampu menembus kegelapan di dalam sana. Kehidupan berubah total. Kita terpana dan bertanya: ”Why? Mengapa begini? Apa arti semua ini?”. Lalu kita memasuki hari-hari penuh duka dan keprihatinan. Harapan dan cita-cita hapus terpupus, sanak kerabat hilang tanpa terkalang. Para janda menangis dengan rasa teriris, anak-anak yatim melangkah gontai dengan mata menatap hampa. Lalu kita menyimpulkan bencana alam itu jahat.
Kebaikan dan Kejahatan
Kalau kita mengatakan kebaikan dan kejahatan sebagai dua hal, sebagai dua keberadaan atau dua entitas yang berbeda, maka kita akan masuk kedalam kerumitan logika iman berikut:
Semua yang ada di alam raya bersumber dan dicipta oleh Allah SWT.
Di alam ini ada banyak kebaikan dan kejahatan.
Maka Allah SWT, selain sumber kebaikan, juga merupakan sumber kejahatan.
Tapi iman di qalbu berkata: Subhanallah. .. (Maha Suci Allah...). Tak ada keburukan pada Allah, tak ada kejahatan yang datang dari Allah.
Lalu dari mana semua kejahatan ini berasal? Dari manusia? Bukankah semua manusia, termasuk kebebasan berkehendak yang ada di dalamnya, juga bersumber dari Allah?
Sebelum menjawab kerumitan logika iman di atas, mari kita perhatikan dahulu makna fenomena-fenomena alam dari ’jendela pemahaman’ atau ’paradigma’ yang berbeda: paradigma makro-kosmis dan paradigma mikro-personal. Bukankah Allah SWT juga berkata: ”Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (isyarat-isyarat) Kami di alam raya (âfâq, jagad gedhe) dan juga pada diri mereka (anfus, jagad cilik)...” (QS Fushilat, 41:53).
A. Paradigma Makro-kosmis: Alam Selalu Bertasbih dan Menjaga Keseimbangan.
”Semua yang ada di langit dan di bumi selalu bertasbih kepada Allah...” (QS al-Jum`ah 62:1)
Kalau manusia bertasbih kita sudah mengetahui caranya. Tapi bagaimana alam bertasbih? Apa lagi benda-benda mineral yang ’mati’ seperti pasir, batu dan tanah?
”Tidakkah kau perhatikan bahwa sesungguhnya Allah, selalu bertasbih kepada-Nya semua yang di langit dan di bumi. Burung dengan mengepak-ngepakkan sayapnya. Tiap-tiap makhluk sudah mengetahui cara shalat dan cara bertasbihnya masing-masing dan Allah Maha Mengetahui semua yang mereka perbuat.” (QS an-Nur, 24:41)
Burung bertasbih dengan mengepakkan sayap, bagaimana dengan benda mati? Tapi betulkah mereka mati?
Sesungguhnya semua alam itu hidup, meski dengan tingkat kehidupan yang berbeda-beda. Manusia hadir dengan tingkat kehidupan yang paling sempurna. Ia bergerak, tumbuh dan berkembang biak, cerdas berpengetahuan dan memiliki kebebasan berinisiatif, berperasaan cinta kasih, memiliki kesadaran moral dan iman. Mineral atau ’benda-benda mati’ hadir dengan tingkat kehidupan yang paling sederhana. Benda terkecil adalah atom, dan atom tersusun atas inti atom serta elektron yang tak henti-hentinya bergerak. Elektron bergerak berputar pada porosnya (rotasi) dan mengelilingi inti atom (revolusi). Selain bergerak, elektron pun berkemauan/berketet apan untuk menjaga posisinya sehingga tetap seimbang terhadap dunia di sekitarnya. Berarti elektron pun berkemauan dan berkecerdasan sehingga mampu merespon perubahan-perubahan yang terjadi.
Elektron juga selalu bertasbih kepada Allah, menunjukkan adanya iman dan kesadaran berTuhan. Kelompok New Age di Amerika membuktikan betapa tumbuhan juga berperasaan, sehingga tanaman bunga yang sering disapa dan diperlakukan dengan penuh kasih sayang menunjukkan reaksi dengan tumbuh dan berbunga lebih cepat. Prof. Masaru Emoto dari Jepang, yang bukunya tentang kekuatan air diterbitkan oleh MQ-nya Aa Gym, dari berbagai penelitiannya membuktikan bahwa molekul-molekul air berubah susunannya sebagai respon terhadap perasaan dan doa dari orang-orang di sekitarnya. Adanya gerak dan kemauan, kecerdasan dan perasaan, iman dan kesadaran, semua itu menunjukkan bahwa ada jiwa dan kehidupan pada elektron, yang merupakan elemen dasar bagi setiap benda. Berarti setiap benda di alam ini, termasuk pasir, air dan udara, memiliki jiwa dan kehidupan.
Selain hidup dan berjiwa, alam juga selalu berada dalam keseimbangan:
”Alam semesta dibentang luas dan di dalamnya diletakkan mekanisme keseimbangan. Janganlah kalian merusak keseimbangan itu. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan jangan kalian merusak keseimbangan.” (QS ar-Rahman/ 55:7-9)
Di jagad raya ada keseimbangan kosmis. Di bumi ada keseimbangan ekologis. Dalam kehidupan manusia ada keseimbangn sosial yang lebih dikenal sebagai KEADILAN. Tiap-tiap terjadi gangguan pada keseimbangan itu alam akan melakukan koreksi dan pemulihan. Alam bisa berdehem dan batuk, alam juga bisa menggeliat dan meronta. Semua peristiwa alam yaa alami saja. Mereka bertindak sekadar menjaga kelangsungan hidup, memelihara keseimbangan dan bertasbih kepada Allah Sang Pencipta. Alam tidak bermaksud jahat dan Allah SWT tidak menempatkan kejahatan di alam.
Ketika sumber-sumber alam di permukaan bumi sudah dikuras secara serakah dan zhalim, alam tidak marah, ia hanya akan bereaksi dengan banjir dan longsor atau gempa bumi dan letusan gunung berapi, untuk memulihkan ketersediaan sumber-sumber alam itu. Letusan Gunung Galunggung diawal tahun 80-an telah menambah persediaan pasir yang hingga kini tak habis-habisnya diangkut ke kota-kota besar sebagai bahan bangunan meski diangkut dengan ratusan gerbong kereta api setiap harinya. Juga letusan gunung selalu menyisakan kesuburan bagi daerah sekitarnya.
Allah SWT sangat menyayangi manusia, melebihi sayangnya manusia terhadap dirinya sendiri dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Ia tak akan merusak karya-Nya sendiri dengan sia-sia. Einstein bilang: ”Tuhan tidak sedang bermain dadu dengan alam ini”. Kalau pun ada yang harus Ia hancurkan dulu, itu karena Ia hendak menata ulang agar segalanya menjadi lebih indah dan lebih harmonis lagi. Keseimbangan terus dijaga-Nya, perbaikan terus diselenggarakan- Nya, Ia adalah Sang Pemelihara Alam (Rabb al-Alamin).
Lalu, ketidak-seimbangan yang terjadi di Aceh sehingga alam harus mengoreksinya dengan tsunami? Apakah di sana telah terjadi ketidakseimbangan ekologis atau ada ketidakseimbangan sosiologis? Mungkin saja ada. Bukankah banyak lingkungan alam telah rusak dijarah oleh keserakahan para penguasa? Bukankah banyak tertumpah dan martabat manusia terhinakan oleh perang-perang yang zhalim? Yang jelas Allah SWT tidak akan bertindak sia-sia tanpa alasan atau tujuan. Perang di Aceh sudah berlangsung begitu lama sejak zaman penjajahan Belanda hingga, apa yang disebut orang Aceh secara sinis, penjajahan Jawa (Soekarno dan Soeharto).
Peperangan yang banyak terjadi di Aceh tak selamanya dilandasi niat suci dan kejujuran, baik di kalangan orang Aceh sendiri atau pendatang dari luar. Ada keserakahan dan pengkhianatan, ada keculasan dan tipu daya, ada kesombongan dan kezhaliman. Maka tak heran kalau di masyarakat bawah pun berkembang sikap saling curiga mencurigai. Akibatnya ”mutual trust” (sikap saling mempercayai) melemah dan orang kerap berkata: ”Awas tipu Aceh!”. Orang bisa tak lagi merasa aman dengan tetangga, pemimpin atau bahkan ulamanya. Hidup berkelompok dalam koloni kekeluargaan menjadi salah satu ciri kehidupan di sana sehingga ketika datang musibah tsunami banyak orang kehilangan hampir seluruh keluarga besarnya.
Apa yang terjadi di Aceh pun bisa disaksikan di tempat-tempat lain. Di manapun di muka bumi ini, ketika muncul keserakahan terhadap alam serta ketidakadilan sosial dan kezaliman, bumi akan terundang untuk melakukan langkah-langkah koreksi. Sayang kita tak menyadarinya dan menyebutnya ’bencana alam’ yang ganas dan jahat.
B. Paradigma Mikro-Personal: Musibah Adalah Rahmah.
Kita sering diingatkan bahwa kehidupan di bumi ini bukan kehidupan yang satu-satunya. Maka janganlah kita terkecoh oleh gemerlapnya kehidupan dunia yang fana seraya mengabaikan kehidupan akhirat yang hakiki dan abadi.
“Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapakah di antara kamu yang paling baik perbuatannya” (al-Mulk/67: 2).
“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS al-A`la/ 87:17).
“Dan tidaklah kehidupan dunia ini kecuali hanya senda gurau dan permainan” (QS Muhammad / 47:36).
Tersadarlah kita kalau dunia ini memang bukan segala-galanya. Ia hanya tempat bermain-main sementara meski hidup bukan main-main. Peringatan-peringat an seperti di atas Allah sampaikan kepada manusia karena Allah menyayangi manusia. Ingat sekali lagi, Allah lebih sayang kepada manusia bahkan melebihi kasih sayang manusia terhadap dirinya sendiri. Bahkan setiap musibah yang Allah timpakan pada manusia adalah rahmah Allah untuk manusia itu sendiri.
"Tak ada satu musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali Allah dengan itu akan menghapus dosa dan kesalahannya, walaupun hanya sepotong duri yang menusuknya". (HR Bukhari dan Muslim)
Bagi para pendosa, musibah adalah hukuman Allah atas dosa-dosa orang itu. Dihukum di dunia ini juga agar tak ada lagi dosa yang harus dipertanggugjawabka nnya di akhirat kelak. Karena itu mereka yang mati karena musibah, syahid. Mereka yang tak mati, setelah dosanya terhukum dengan musibah itu, hidupnya akan bertambah mulia dan meningkat derajadnya. Musibah adalah rahmah (kasih) Allah bagi para pendosa.
Suatu saat Rasul s.a.w. bertanya: “Siapa yang dimaksud mati syahid menurutmu?”
Shahabat: “Orang yang terbunuh di jalan Allah, ya Rasulullah.”
Rasul: “Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.”
Shahabat: “Lalu siapa lagi, ya Rasulullah?”
Rasul s.a.w.: ”orang yang mati terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang mati dalam taat kepada Allah adalah syahid, orang yang mati karena tha`un (wabah) adalah syahid, orang yang mati karena sakit perut adalah syahid dan orang yang mati tenggelam adalah syahid.” (HR Muslim, Abu Hurairah r.a.).
”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau cipta semua ini dengan sia-sia...” (QS Ali Imran/ 3:191).
“Dan Allah telah memaparkan contoh (tentang) negeri yang dahulunya aman tenteram, rezki datang melimpah dari segala arah; tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka Allah merasakan kepada mereka pakaian (sifat pakaian: melingkupi) kelaparan dan ketakutan, berdasarkan apa yang mereka perbuat.” (An-Nahl / 16:112)
Bagi yang bukan pendosa musibah adalah bala’ atau cobaan. Allah mau menguji keimanan orang-orang yang beriman sebelum meningkatkan derajatnya.
”Apakah orang-orang itu menyangka bahwa mereka akan dibiarkan saja berkata: ’Kami beriman’ padahal mereka belum diuji?” (al-`Ankabut, 29:2)
“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sesuatu yang berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Namun sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah / 2:155)
Orang-orang yang tetap bersabar menghadapi musibah, tetap ridha atas apa pun keputusan Allah, tak tergoncang imannya oleh keraguan dan pertanyaan ’mengapa’, tak berburuk sangka kepada Allah, maka akan Allah mengangkat derajad dan martabatnya bahkan hingga ke tingkat ’wali’ atau kekasih-Nya. Musibah adalah rahmah (kasih) Allah bagi yang bukan pendosa.
Musibah bagi yang tidak terkena musibah. Musibah bisa merupakan hukuman bagi pendosa, ujian bagi yang bukan pendosa atau pemulihan keseimbangan bagi alam. Lalu apa artinya bagi orang-orang yang tidak terkena musibah itu secara langsung? Peringatan! Dengan peringatan itu orang diingatkan agar tak sombong, karena ’di atas langit masih ada langit’. Diperingatkan agar berhati-hati, waspada dan tak salah langkah. Allah menyampaikan peringatan itu karena Allah menyayangi makhluk-Nya. Dengan musibah pula orang-orang yang tak terkena musibah terusik kemanusiaannya, tergelitik empaty dan kedermawannya, terbuka bagi mereka ladang-ladang baru untuk beramal shalih. Musibah adalah rahmah (kasih) Allah bagi yang tidak terkena musibah.
”Sekiranya penduduk negeri-negeri itu sungguh beriman dan bertaqwa, pastilah akan Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi...” (al-A`raf / 7:96).
Lalu bagaimana diskusi kita tentang Kebaikan dan Kejahatan? Penulis akan berikan dulu ilustrasi. Orang-orang yang tinggal di Jakarta sudah terbiasa dengan panas siang hari yang bisa mencapai 30 ºC. Ketika mereka ke Tokyo yang panasnya 19 ºC mereka akan berkata: ”Tokyo dingin”. Dan ketika orang-orang Tokyo ke Siberia di Rusia Utara yang panasnya -4 ºC, mereka pun berkata: ”Siberia dingin”.
Pertanyaannya, apakah di Tokyo dan di Siberia tak ada panas? Yang ada cuma dingin? Lalu apa yang terukur di Tokyo dengan 19 ºc dan di Siberia -4 ºC? Bukankah itu semua adalah ukuran-ukuran terhadap panas atau temperatur? Berarti di Jakarta ada panas, di Tokyo ada panas, di Siberia juga ada panas. Tapi mengapa orang Jakarta bilang “Tokyo dingin”. Jadi apa bedanya panas dan dingin?
Dingin adalah kesadaran orang atas keadaan berkurangnya panas. Dingin adalah berkurangnya panas, sedikitnya panas atau tiadanya panas. Maka yang disebut kejahatan adalah berkurangnya kebaikan, sedikitnya kebaikan atau tiadanya kebaikan. Kejahatan itu sendiri bukanlah suatu eksistensi tersendiri, bukan keberadaan yang terpisah dari kebaikan. Kejahatan adalah kebaikan yang sangat sedikit atau kebaikan yang habis. Allah tidak pernah mencipta kejahatan. Allah bukan sumber kejahatan. Kejahatan itu ”tidak ada”, yang ada hanyalah ”kebaikan yang menyedikit atau kebaikan yang habis”. Maka dimana pun kita jumpai ’kejahatan’ segera isikan ’kebaikan’ padanya.
Bencana alam bukan kejahatan alam atau kejahatan Allah. Bencana alam di suatu tempat menunjukkan telah ’berkurangnya kebaikan’ di tempat itu. Ayo kita isikan ’kebaikan’ sebanyak mungkin ke tempat itu. Dan jangan lupa untuk terus menumbuhkan ’kebiakan’ di sekitar kita agar tak terjadi bencana alam di dekat kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar