Kamis, 08 Mei 2008

Semua Masuk Surga, kecuali Yang Enggan


Mahkota raja iblis didasarkan atas tiga unsur :enggan untuk mematuhi perintah Allah, takabur, dan tinggi hati. Barang siapa memiliki ketiga usur itu, atau salah satunya, telah menjadi pengikut iblis.

Seorang raja baru diakui kebesarannya bila telah memakai mahkota kerajaan. Karena itulah, ketika dilantik, simbolisasi kedudukannya yang sah adalah ketika raja mengenakan mahkota kerajaan di kepalanya. Kadang ada tambahan, pemakaian jubah dan juga tongkat atau senjata kebesaran raja. Semua perhiasan kerajaan tersebut dibuat dengan bentuk yang sangat indah dan megah.

Begitu pula iblis, yang menjadi raja bangsa jin. Dia mengenakan mahkota kerajaan jin yang bagi mereka merupakan perhiasan yang sangat indah. Mereka sangat bangga dan berani mempertaruhkan segala akibatnya dalam mendukung mahkota raja iblis ini. tentu saja apa yang indah bagi bangsa jin, belum tentu indah bagi bangsa manusia. Informasi yang mendetail mengenai bentuk fisiknya tidak diketahui oleh manusia, tetapi dapat dikenali dengan baik dari sifat-sifat dan ciri-cirinya. Sebab semua itu telah diungkap dalam Al-Quran dalam berbagai surah dan ayatnya.

Pada awalnya, kisah ini terungkap ketika Allah Ta’ala akan menciptakan manusia, Nabi Adam AS. Maka hal itu diberitakan kepada para malaikat dan bangsa jin. Para malaikat, meski sempat bertanya, tetap tunduk pada kehendak Tuhan. Sementara bangsa jin, yang dalam hal ini diwakili oleh rajanya, yaitu iblis, menolaknya. Ketika Allah menyuruh kedua bangsa itu untuk sujud (menghormati ) kepada Adam, malaikat mematuhi; sedang iblis menolaknya, dengan ucapannya yang kemudian termaktub dalam Al-Quran, “Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat ‘Sujudlah kamu (menghormati dan memuliakan) kepada Adam’, sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur (abba was takbara), dan ia termasuk golongan yang kafir. – QS Al-Baqarah (2):34.

Dua unsur mahkota raja iblis muncul, yaitu enggan dan takabur. Jadi penolakannya untuk mematuhi perintah Allah supaya dia sujud kepada Adam didasarkan, pertama, karena enggan, baru kemudian karena sifat takabur. Enggan menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, juga takabur terhadap golongan lain, termasuk sifat orang-orang kafir. Yakni, orang yang menutup diri dari petunjuk Allah, dan karena itulah kemudian benar-benar tertutup dari petunjuk Allah.

Dalam Al-Quran kita jumpai istilah “enggan” berpasangan dengan sifat “takabur”. Sebagaimana bisa dibaca dalam surah An-Nisa’(4) ayat 173, “Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih, Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombangkan diri, Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka pelindung dan penolong selain daripada Allah.

Dengan memperhatikan istilah dalam Al-Quran akan kita ketahui, apa yang dimaksud dengan “enggan” tersebut. Para malaikat tidak enggan terhadap perintah Allah, sebagaimana Nabi Isa Putra Maryam tidak enggan menjadi hamba Allah, karena memang beliau adalah sekadar hamba Allah, dan bukanlah anak Allah, sebagaimana anggapan para pengikutnya yang menyeleweng. Allah berfirman, “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak pula malaikat-malaikat yang terdekat…” – QS An-Nisa (4):172.

Atau, dalam ayat lain, “Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud.” – QS Al-A’raaf (7):206.

Tidak demikian halnya dengan iblis. Dia memposisikan dirinya bukan sebagaimana golongan malaikat, sebab iblis memang bukan dari golongan malaikat. Iblis berasal dari golongan jin. Allah berfirman, “…kecuali iblis. Ia enggan ikut bersama-sama yang sujud itu (para malaikat).” – QS Al-Hijr (15):31.

Manusia yang ikut-ikutan memiliki satu sifat atau semua sifat iblis itu, sama saja mengenakan mahkota raja iblis dalam kehidupannya. Ini terjadi pada Fir’aun, yang dengan congkaknya telah mengaku dirinya tuhan. Fir’aun adalah perwujudan iblis di muka bumi. Allah telah memperingatkannya, “Dan sesungguhnya Kami telah perlihatkan kepadanya (Fir’aun) tanda-tanda kekuasaan Kami semuanya, tapi ia (Fir’aun) mendustakan dan enggan.” – QS Thaha (20):56.

Fir’aun enggan, sebagaimana iblis, tetapi dalam hal ini dia tidak mampu membuktikan ketakaburannya - dalam arti melebihi Allah, meski dia mengaku sebagai tuhan. Ketika diperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Allah, seperti menciptakan langit dan bumi, Fir’aun tidak kuasa untuk menyamainya. Karena itu, dia langsung mendustakannya. Dan setelah menolak, dia mengenakan mahkota raja iblis, yaitu enggan.

Sifat enggan juga dimiliki oleh langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun keengganan mereka tidak berpasangan dengan sifat takabur, tetapi berpasangan dengan rasa khawatir bahwa mereka tidak mampu melaksanakan sebagaimana diamanatkan Allah. Jadi mereka menyadari kelemahan mereka. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” – QS Al-Ahzab (33):72.

Abaa, enggan, atau ogah-ogahan, secara kata, berarti “tidak mau”, “benci” “tidak adil”. Sikap enggan merupakan penyakit hati yang akan menimbulkan akibat buruk bagi pemiliknya. Enggan pada hakikatnya adalah penolakan tanpa dasar yang jelas, tetapi tidak dilahirkan secara langsung.

Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Semua umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu ?”

Beliau menjawab, “Siapa saja yang menaatiku, akan masuk surga; dan siapa yang mendurhakaiku, sesungguhnya itulah orang yang enggan.” (HR Bukhari).

Hadits ini bisa ditujukan kepada orang-orang yang diluar Islam, yang sudah tahu kebenaran Islam tetapi enggan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah. namun bisa juga ditujukan kepada orang Islam yang tahu tentang perintah dan larangan Allah, tetapi enggan mematuhinya.

Misalnya, ketika seorang pemuda ditanya mengapa dia tidak shalat, dia menjawab, “Masih enggan…nanti saja kalau sudah tua.” Mudah-mudahan kita tidak termasuk golongan yang demikian.

Tidak ada komentar: